-

Minggu, 09 November 2008


FORMAT IDEAL GERAKAN MAHASISWA DALAM MENJAWAB KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA UMAT*

Oleh :Rizky Fajar *


Enam puluh tiga tahun sudah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya secara de jure maupun de facto. Perjuangan para pembaharu bangsa demi melawan arus kolonialisme pada saat itu menjadi momen yang tidak dapat dilupakan dari catatan sejarah perjalanan bangsa yang berjalan dinamis. Perkembangan peradaban umat yang tidak statis dan begitu cepat, malah menambah akumulasi permasalahan yang makin menumpuk. Permasalahan yang satu belum tuntas untuk diselesaikan, kemudian datang permasalahan lain yang terkadang lebih berat yang harus dihadapi bangsa ini. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi generasi penerus bangsa untuk menjawabnya.
Aktualisasi gerakan Mahasiswa pasca orde baru sekiranya masih memperoleh tempat khusus dan istimewa dalam perbincangan masyarakat luas karena kontribusinya sebagai aktor pioneer runtuhnya rezim orde baru. Kebersamaan dan keistiqomahan dalam perjuangan yang mereka lakukan telah melahirkan atmosfir perubahan yang sangat membanggakan, sehingga momen ini biasanya dimanfaatkan oleh beberapa gerakan mahasiswa sebagai perenungan dan media penyuntikan spirit perjuangan yang telah dimiliki oleh para pendahulunya. Peristiwa pasca orde baru (penulis lebih sering menggunakan istilah pasca orde baru ketimbang era reformasi) menjadi tolak ukur keseriusan gerakan mahasiswa dalam menggarap agenda bangsa Indonesia.
Pembicaraan mengenai gerakan mahasiswa konteks sekarang sangat sulit jika disinonimkan pada gerakan mahasiswa tempo doeloe. Orientasi menjatuhkan sebuah rezim prominent enemy yaitu Soeharto, menjadi agenda yang tersusun rapi sehingga memiliki kejelasan dalam arah perjuangannya yang tercover dalam satu tema, akan menjadi berbeda jika ditempatkan untuk tempo sekarang, problematika yang lebih kompleks dan cenderung separate menjadi agenda penting yang harus digarap bersama oleh gerakan mahasiswa lebih-lebih perubahan kultur individu karena perkembangan peradaban yang dinamis. Kegiatan diskusi, aksi turun kejalan dan advokasi terhadap masyarakat menjadi agenda rutin yang dilakukan gerakan mahasiswa dalam mencoba mengurangi intensitas persoalan yang ada akhir-akhir ini. Memang sudah sepantasnya, idealisme intelektual kerakyatan pada individu-individu yang ikut dalam organisasi gerakan mahasiswa ini harus tetap melekat dan eksis dalam proses memperjuangkan nilai-nilai humanis yang dibutuhkan rakyat. Karena jika idealisme intelektual kerakyatan ini hilang, maka ruh gerakan akan menjadi ternodai oleh berbagai kultur-kultur baru bersifat parasit yang dapat melahirkan oportunitas. Seringkali ada gerakan mahasiswa yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan elit semata, bahkan istilah menjadi gerakan underbouw sebuah partai sudah sering diidentikkan karena mayoritas kadernya masuk kedalam struktur kepengurusan partai politik.

Apalagi ketika terjadi persoalan tawaran politik atau keterlibatan mahasiswa sebagai aktor dalam Pilkada jelas sangat naif ketika disenyawakan dengan politik kerakyatan, terlebih lagi demi pengentasan kemiskinan masyarakat yang semakin akut. Finansial dan kehidupan layak yang menjanjikan bagi gerakan mahasiswa baik itu secara organisatoris maupun individu untuk terjun langsung dipentas kekuasaan memberi aroma yang khas dalam catatan sejarah perjalanan gerakan mahasiswa. Penulis membagi tiga macam barometer perjuangan ketika gerakan mahasiswa menginginkan menjadi gerakan yang disenangi oleh masyarakat luas. Pertama, konsistensi dalam pengawalan membela rakyat. Kemampuan mengadvokasi persoalan-persoalan rakyat akibat pengeluaran kebijakan pemerintah yang tidak populis menjadi salah satu tolak ukur fungsional sebagai gerakan mahasiswa yang ideal. Kebiasaan menelantarakan persoalan yang ada dapat menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi gerakan mahasiswa yang sering disebut sebagai agen of change. Perubahan sosial dalam dinamika perubahan memiliki akar sejarah yang sangat kuat, perubahan dalam dinamika bangsa yang dikenal tajdid sebagaimana dalam banyak literatur, kemudian muncul dengan berbagai predikat untuk gerakan mahasiswa seperti: reformisme, modernisme”. Sebagai pengemban perubahan sosial sesungguhnya tugasnya adalah melakukan perubahan sosial terhadap dinamika bangsa ini yang jauh melenceng dari norma-norma berlaku. Pengawalan masyarakat dalam rangka pemenuhan hak-hak rakyat yang belum terpenuhi oleh pemerintah akan terasa lebih memiliki ikatan batin antara gerakan mahasiswa dengan masyarakat itu sendiri karena kolektifitas dalam memperjuangakan cita-cita. Kedua, gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan pemberdayaan masyarakat yang bernuansa humanis. Pemberdayaan adalah melakukan kegiatan melibatkan masyarakat secara langsung yang dapat mengasah kemandirian serta menciptakan rasa kepekaan masyarakat terhadap perkembangan zaman. Misalnya pembuatan kegiatan-kegiatan pelatihan profesi yang dapat menunjang kebutuhan pokok masyarakat yang dibutuhkan atau kegiatan seminar-seminar maupun diskusi-diskusi harus lebih sering melibatkan masyarakat secara langsung sehingga permasalahan-peramasalahan yang ada lebih mudah dijawab. Egoisitas dan aphatis sering menjangkit gerakan mahasiswa dalam menjalankan agendanya tanpa melibatkan secara langsung obyek yang terkena sebuah kebijakan rezim. Ketiga, menjadi gerakan yang dapat menyadarkan masyarakat atas fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Edukasi politik yang intensif dapat membuka cakrawala berfikir masyarakat yang kritis, sehingga kesadaran partisipatif tercipta tanpa ada nuansa-nuansa kebohongan dan janji-janji yang abstrak dalam menyikapi sebuah kebijakan. Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh pera elit seringkali dapat membius otak publik yang dapat menyebabkan matinya rasa kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi karena perbuatan kemunafikan yang mereka (baca:para politisi) buat. Sehingga langkah ini menjadi langakah yang efektif dalam menjawab salah satu problematika yang ada.
Atas analisis di atas inilah, gerakan mahasiswa ada seharusnya sebagai program kerja kerakyatan yang dapat memberikan sandaran kepada masyarakat sebagai gerakan pembelaan, penyadaran, dan pemberdayaan. Egoisitas dalam manjawab persoalan dengan tidak melibatkan masyarakat sebagai aktor akan lebih sulit rasanya dalam menjawab persoalan yang ada, diskusi-diskusi yang sering diselenggarakan gerakan mahasiswa akan mengalami kebuntuan dalam menyelesaikannya.

*(Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Soedirman-UNSOED)
*diterbitkan dibuletin HMI MPO Purwokerto.

Baca Selanjutnya.....

Nasib pendidikan masa kini, antara harapan dan angan-angan


”Pendidikan itu bukan hanya mengisi sebuah keranjang, Melainkan menyalakan sebuah api”
(William Butler, Peraih nobel Sastra)
Nasib pendidikan masa kini, antara harapan dan angan-angan*
Oleh : Rizky Fajar Afriyansyah
(Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Soedirman-UNSOED)

Realita dunia pendidikan di negara kita mengalami kemajuan yang sangat signifikan dengan terbukti dengan adanya berbagai media pembelajaran yang menggunakan peralatan canggih di dalam pelaksanaanya .Namun yang menjadi pertanyaan apakah dengan semakin majunya pendidikan sekarang ini akan mencetak sosok-sosok orang yang memiliki kontribusi besar dalam membangun negeri ini? Apakah akan tercipta Soekarno baru yang bisa merubah nasib bangsa ini? Hal ini menjadi sebuah angan-angan dan harapan demi terwujudnya semua ini.
Melihat fakta yang ada pendidikan sekarang ini seperti barang mewah (tersier), pendidikan mahal yang hanya terjangkau oleh orang-orang yang punya banyak rupiah. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak, sungguh jauh dari sebuah harapan. Padahal substansi pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jatidiri bangsa (van Glinken, 2004). Maka jika pendidikan tidak bisa dinikmati oleh segenap elemen masyarakat luas dapat diprediksikan semangat nasionalisme dan kebersamaan yang menjadi nilai-nilain luhur akan semakin lenyap.

Kemudian kondisi pendidikan dinegara kita ini diperparah lagi dengan adanya liberalisasi pendidikan, dimana memposisikan pendidikan sebagai bidang usaha jasa yang terbuka bagi penanaman modal asing, Kebijakan pemerintah untuk menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha jasa yang terbuka bagi pelaku modal asing atau dikenal dengan liberalisasi pendidikan ini dipastikan bisa melumpuhkan peran pemerintah dalam mengatur pendidikan di Indonesia. Dengan perkembangan itu dapat dikatakan bahwa secara kuantitatif liberalisasi pendidikan berpengaruh cukup besar yang dapat memperlemah citra diri (self-image) negara serta menghilangkan nilai kemandirian bangsa Indonesia dalam mengurusi pendidikan ini. Nampaknya dunia pendidikan menjadi suram bagi kalangan rakyat kecil, pendidikan yang tak terjangkau bukan sebuah harapan dan angan-angan rakyat. Maka yang harus dilakukan oleh segenap pihak khususnya pemerintah harus melakukan peninjauan kembali mengenai konsep pendidikan di era perdagangan bebas ini, yang kemudian konstitusipun belum mendukung secara penuh pendidikan yang pro rakyat kecil.
Dari beberapa hal diatas ada yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan refleksi bagi kita dalam melihat perkembangan nasib pendidikan di Indonesia. Setidak-tidaknya ada sesuatu yang bisa kita pahami dalam menyikapi nasib pendidikan di Indonesia. Dan bisa menjadi landasan dalam menyikapi pendidikan secara bijak,agar seluruh kalangan bisa menyadari akan arti vital dari pendidikan. Jadi pendidikan adalah pilar dasar untuk kemajuan Indonesia pada masa yang akan datang.
*sudah dimuat dalam buletin LS profetika
.

Baca Selanjutnya.....
 

© 2007 Laskar Soedirman: November 2008 | Design by Template Unik



Template unik dari rohman


---[[ Skip to top ]]---