-

Minggu, 09 November 2008


FORMAT IDEAL GERAKAN MAHASISWA DALAM MENJAWAB KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA UMAT*

Oleh :Rizky Fajar *


Enam puluh tiga tahun sudah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya secara de jure maupun de facto. Perjuangan para pembaharu bangsa demi melawan arus kolonialisme pada saat itu menjadi momen yang tidak dapat dilupakan dari catatan sejarah perjalanan bangsa yang berjalan dinamis. Perkembangan peradaban umat yang tidak statis dan begitu cepat, malah menambah akumulasi permasalahan yang makin menumpuk. Permasalahan yang satu belum tuntas untuk diselesaikan, kemudian datang permasalahan lain yang terkadang lebih berat yang harus dihadapi bangsa ini. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi generasi penerus bangsa untuk menjawabnya.
Aktualisasi gerakan Mahasiswa pasca orde baru sekiranya masih memperoleh tempat khusus dan istimewa dalam perbincangan masyarakat luas karena kontribusinya sebagai aktor pioneer runtuhnya rezim orde baru. Kebersamaan dan keistiqomahan dalam perjuangan yang mereka lakukan telah melahirkan atmosfir perubahan yang sangat membanggakan, sehingga momen ini biasanya dimanfaatkan oleh beberapa gerakan mahasiswa sebagai perenungan dan media penyuntikan spirit perjuangan yang telah dimiliki oleh para pendahulunya. Peristiwa pasca orde baru (penulis lebih sering menggunakan istilah pasca orde baru ketimbang era reformasi) menjadi tolak ukur keseriusan gerakan mahasiswa dalam menggarap agenda bangsa Indonesia.
Pembicaraan mengenai gerakan mahasiswa konteks sekarang sangat sulit jika disinonimkan pada gerakan mahasiswa tempo doeloe. Orientasi menjatuhkan sebuah rezim prominent enemy yaitu Soeharto, menjadi agenda yang tersusun rapi sehingga memiliki kejelasan dalam arah perjuangannya yang tercover dalam satu tema, akan menjadi berbeda jika ditempatkan untuk tempo sekarang, problematika yang lebih kompleks dan cenderung separate menjadi agenda penting yang harus digarap bersama oleh gerakan mahasiswa lebih-lebih perubahan kultur individu karena perkembangan peradaban yang dinamis. Kegiatan diskusi, aksi turun kejalan dan advokasi terhadap masyarakat menjadi agenda rutin yang dilakukan gerakan mahasiswa dalam mencoba mengurangi intensitas persoalan yang ada akhir-akhir ini. Memang sudah sepantasnya, idealisme intelektual kerakyatan pada individu-individu yang ikut dalam organisasi gerakan mahasiswa ini harus tetap melekat dan eksis dalam proses memperjuangkan nilai-nilai humanis yang dibutuhkan rakyat. Karena jika idealisme intelektual kerakyatan ini hilang, maka ruh gerakan akan menjadi ternodai oleh berbagai kultur-kultur baru bersifat parasit yang dapat melahirkan oportunitas. Seringkali ada gerakan mahasiswa yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan elit semata, bahkan istilah menjadi gerakan underbouw sebuah partai sudah sering diidentikkan karena mayoritas kadernya masuk kedalam struktur kepengurusan partai politik.

Apalagi ketika terjadi persoalan tawaran politik atau keterlibatan mahasiswa sebagai aktor dalam Pilkada jelas sangat naif ketika disenyawakan dengan politik kerakyatan, terlebih lagi demi pengentasan kemiskinan masyarakat yang semakin akut. Finansial dan kehidupan layak yang menjanjikan bagi gerakan mahasiswa baik itu secara organisatoris maupun individu untuk terjun langsung dipentas kekuasaan memberi aroma yang khas dalam catatan sejarah perjalanan gerakan mahasiswa. Penulis membagi tiga macam barometer perjuangan ketika gerakan mahasiswa menginginkan menjadi gerakan yang disenangi oleh masyarakat luas. Pertama, konsistensi dalam pengawalan membela rakyat. Kemampuan mengadvokasi persoalan-persoalan rakyat akibat pengeluaran kebijakan pemerintah yang tidak populis menjadi salah satu tolak ukur fungsional sebagai gerakan mahasiswa yang ideal. Kebiasaan menelantarakan persoalan yang ada dapat menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi gerakan mahasiswa yang sering disebut sebagai agen of change. Perubahan sosial dalam dinamika perubahan memiliki akar sejarah yang sangat kuat, perubahan dalam dinamika bangsa yang dikenal tajdid sebagaimana dalam banyak literatur, kemudian muncul dengan berbagai predikat untuk gerakan mahasiswa seperti: reformisme, modernisme”. Sebagai pengemban perubahan sosial sesungguhnya tugasnya adalah melakukan perubahan sosial terhadap dinamika bangsa ini yang jauh melenceng dari norma-norma berlaku. Pengawalan masyarakat dalam rangka pemenuhan hak-hak rakyat yang belum terpenuhi oleh pemerintah akan terasa lebih memiliki ikatan batin antara gerakan mahasiswa dengan masyarakat itu sendiri karena kolektifitas dalam memperjuangakan cita-cita. Kedua, gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan pemberdayaan masyarakat yang bernuansa humanis. Pemberdayaan adalah melakukan kegiatan melibatkan masyarakat secara langsung yang dapat mengasah kemandirian serta menciptakan rasa kepekaan masyarakat terhadap perkembangan zaman. Misalnya pembuatan kegiatan-kegiatan pelatihan profesi yang dapat menunjang kebutuhan pokok masyarakat yang dibutuhkan atau kegiatan seminar-seminar maupun diskusi-diskusi harus lebih sering melibatkan masyarakat secara langsung sehingga permasalahan-peramasalahan yang ada lebih mudah dijawab. Egoisitas dan aphatis sering menjangkit gerakan mahasiswa dalam menjalankan agendanya tanpa melibatkan secara langsung obyek yang terkena sebuah kebijakan rezim. Ketiga, menjadi gerakan yang dapat menyadarkan masyarakat atas fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Edukasi politik yang intensif dapat membuka cakrawala berfikir masyarakat yang kritis, sehingga kesadaran partisipatif tercipta tanpa ada nuansa-nuansa kebohongan dan janji-janji yang abstrak dalam menyikapi sebuah kebijakan. Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh pera elit seringkali dapat membius otak publik yang dapat menyebabkan matinya rasa kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi karena perbuatan kemunafikan yang mereka (baca:para politisi) buat. Sehingga langkah ini menjadi langakah yang efektif dalam menjawab salah satu problematika yang ada.
Atas analisis di atas inilah, gerakan mahasiswa ada seharusnya sebagai program kerja kerakyatan yang dapat memberikan sandaran kepada masyarakat sebagai gerakan pembelaan, penyadaran, dan pemberdayaan. Egoisitas dalam manjawab persoalan dengan tidak melibatkan masyarakat sebagai aktor akan lebih sulit rasanya dalam menjawab persoalan yang ada, diskusi-diskusi yang sering diselenggarakan gerakan mahasiswa akan mengalami kebuntuan dalam menyelesaikannya.

*(Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Soedirman-UNSOED)
*diterbitkan dibuletin HMI MPO Purwokerto.

Baca Selanjutnya.....

Nasib pendidikan masa kini, antara harapan dan angan-angan


”Pendidikan itu bukan hanya mengisi sebuah keranjang, Melainkan menyalakan sebuah api”
(William Butler, Peraih nobel Sastra)
Nasib pendidikan masa kini, antara harapan dan angan-angan*
Oleh : Rizky Fajar Afriyansyah
(Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Soedirman-UNSOED)

Realita dunia pendidikan di negara kita mengalami kemajuan yang sangat signifikan dengan terbukti dengan adanya berbagai media pembelajaran yang menggunakan peralatan canggih di dalam pelaksanaanya .Namun yang menjadi pertanyaan apakah dengan semakin majunya pendidikan sekarang ini akan mencetak sosok-sosok orang yang memiliki kontribusi besar dalam membangun negeri ini? Apakah akan tercipta Soekarno baru yang bisa merubah nasib bangsa ini? Hal ini menjadi sebuah angan-angan dan harapan demi terwujudnya semua ini.
Melihat fakta yang ada pendidikan sekarang ini seperti barang mewah (tersier), pendidikan mahal yang hanya terjangkau oleh orang-orang yang punya banyak rupiah. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak, sungguh jauh dari sebuah harapan. Padahal substansi pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jatidiri bangsa (van Glinken, 2004). Maka jika pendidikan tidak bisa dinikmati oleh segenap elemen masyarakat luas dapat diprediksikan semangat nasionalisme dan kebersamaan yang menjadi nilai-nilain luhur akan semakin lenyap.

Kemudian kondisi pendidikan dinegara kita ini diperparah lagi dengan adanya liberalisasi pendidikan, dimana memposisikan pendidikan sebagai bidang usaha jasa yang terbuka bagi penanaman modal asing, Kebijakan pemerintah untuk menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha jasa yang terbuka bagi pelaku modal asing atau dikenal dengan liberalisasi pendidikan ini dipastikan bisa melumpuhkan peran pemerintah dalam mengatur pendidikan di Indonesia. Dengan perkembangan itu dapat dikatakan bahwa secara kuantitatif liberalisasi pendidikan berpengaruh cukup besar yang dapat memperlemah citra diri (self-image) negara serta menghilangkan nilai kemandirian bangsa Indonesia dalam mengurusi pendidikan ini. Nampaknya dunia pendidikan menjadi suram bagi kalangan rakyat kecil, pendidikan yang tak terjangkau bukan sebuah harapan dan angan-angan rakyat. Maka yang harus dilakukan oleh segenap pihak khususnya pemerintah harus melakukan peninjauan kembali mengenai konsep pendidikan di era perdagangan bebas ini, yang kemudian konstitusipun belum mendukung secara penuh pendidikan yang pro rakyat kecil.
Dari beberapa hal diatas ada yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan refleksi bagi kita dalam melihat perkembangan nasib pendidikan di Indonesia. Setidak-tidaknya ada sesuatu yang bisa kita pahami dalam menyikapi nasib pendidikan di Indonesia. Dan bisa menjadi landasan dalam menyikapi pendidikan secara bijak,agar seluruh kalangan bisa menyadari akan arti vital dari pendidikan. Jadi pendidikan adalah pilar dasar untuk kemajuan Indonesia pada masa yang akan datang.
*sudah dimuat dalam buletin LS profetika
.

Baca Selanjutnya.....

Jumat, 08 Agustus 2008

Agama Sumber Kekerasan? : Telaah Ormas Islam Indonesia

oleh: Aris Hardinanto
Para sosiolog sejak lama berbicara tentang agama sebagai sumber kekerasan. T.K. Oommen, sosiolog asal India, misalnya, menyimpulkan bahwa kekerasan agama bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tapi juga karena agama sendiri menyediakan rujukan yang cukup banyak untuk perilaku semacam itu. Oommen melakukan penelitiannya terhadap semua agama besar dunia, termasuk Islam dan Hindu (T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001).



Kaum agamawan dan para moralis biasanya menolak pandangan atau hasil penelitian semacam itu. Bagi mereka, kekerasan bertentangan dengan pesan luhur semua agama. Karenanya tidak mungkin agama menjadi sumber kekerasan. Kalaupun ada kekerasan yang bekaitan dengan agama, maka itu merupakan perbuatan “oknum” pemeluk agama.

Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.

Saya kira, temuan para sosiolog itu harus disikapi dengan arif. Sikap emosi dan prasangka buta bukanlah respon yang bijak. Marilah kita mengaca dan memeriksa diri apakah memang agama benar-benar menyediakan amunisi kepada pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan.

Pertama-tama, kekerasan, saya kira, harus dipahami sebagai konsekwensi dari sikap intoleran kepada orang lain (atau pemeluk agama lain). Kalaupun agama tak secara langsung menyuruh umatnya melakukan kekerasan (seperti teror dan perusakan), agama, saya kira, menyediakan pesan yang cukup banyak untuk bersikap tidak toleran.

Saya ingin memberi contoh satu doktrin Islam yang sering digunakan oleh kaum Muslim untuk membenarkan perilaku intoleran dan bahkan tindak kekerasan kepada orang lain; yakni doktrin “amar makruf nahi munkar” yang sangat terkenal itu. Doktrin ini, menurut saya, memberikan peluang bagi intoleransi dan kekerasan.

“Amar makruf nahi munkar” artinya menyuruh orang kepada kebaikan dan mencegahnya berbuat hal-hal yang munkar atau dilarang agama. Sebagian kaum Muslim menganggap bahwa “mencegah yang munkar” harus dilakukan pertama-tama dengan kekerasan (secara fisik), karena sebuah hadis dengan tegas menganjurkan: “Jika kalian melihat suatu kemunkaran, ambillah tindakan dengan tangan kalian…” (man ra’a minkum munkaran, fal yughayyir biyadih…).

Doktrin dan pemahaman ini dipakai oleh sekelompok kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia untuk membenarkan perbuatan mereka melakukan razia dan perusakan terhadap tempat-tempat yang mereka anggap sebagai maksiat atau kemunkaran. Di Indonesia, kelompok semacam ini diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam), sedangkan di Malaysia diwakili oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan).

Baru-baru ini, JAWI melakukan serangkaian razia dan penangkapan terhadap anak-anak muda yang sedang berkumpul di kafe dan tempat-tempat umum (Sunday Mail, 23 Januari 2005). Tindakan ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh para anggota FPI beberapa bulan lalu. Masyarakat resah dengan tindakan sewenang-wenang itu. Dan mereka menuntut PM Abdullah Badawi segera menertibkan para “polisi moral” itu.

Tapi, para pemimpin JAWI tak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Ketika salah seorang pemimpin mereka ditanya mengapa melakukan perbuatan itu, jawabannya persis seperti yang pernah dikemukakan pemimpin FPI, yakni mereka berusaha menerapkan amar makruf nahi munkar dan hadis nabi man ra’a minkum munkaran. (Luthfi Assyaukanie)

Baca Selanjutnya.....

RENUNGAN GERAKAN MAHASISWA

Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa ini sedang mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Semangat refleksi reformasi yang menghiasi dinamika perubahan bangsa ini jauh dari angan-angan,seakan – akan seriak harapan telah sirna oleh perilaku negara yang tidak memberikan perubahan bagi bangsa ini.Korupsi yang merajalela semakin menghancurkan karakter Bangsa Indonesia yang terkenal dengan budaya timurnya sopan santun , ramah, dan mengedepankan moral.
Sesungguhnya persoalan diatas merupakan tanggungjawab dan dosa bersama kita sebagai agen of change yang pastinya mempunyai posisi yang strategis dalam memainkan perubahan bagi bangsa ini, dengan modal sosial yang cukup luar biasa mahasiswa menjadi avant garde gerakan dikampus ini. Sadar tidak sadar pelopor reformasi itu digulirkan oleh mahasiswa. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah semangat reformasi masih eksis disanubari mahasiswa sekarang ? apakah gerakan mahasiswa masih diminati oleh para mahasiswa ?

OPTIMALISASI PROGRESIFITAS GERAKAN MAHASISWA DILINGKUNGAN KAMPUS
Tema diatas diangkat oleh kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat

Soedirman yang dilakukan dengan diskusi publik dikelurahan grendeng 3 April 2008 , dengan selaku narasumber diskusi adalah Bapak Anjar Nugroho S.Ag M.Si mantan Aktivis IMM dan Bapak Ahmad Sabiq S.Ip M.A dosen jurusan ilmu politik Unsoed. Diskusi publik itu menyoal berbagai problematika progresifitas gerakan mahasiswa saat ini. Disampaikan oleh beliau Bapak Anjar bahwa” Progresifitas gerakan mahasiswa tempo 98 dengan sekarang ya sangat berbeda, era 98 kawan-kawan mahasiswa hanya memiliki prominent enemy yaitu Soeharto, sehingga jelas arah perjuangannya dan tercover dalam satu tema, berbeda dengan tempo sekarang problematikanya lebih komplek dan cenderung separate mestinya kulturnya pun berbeda sehingga membutuhkan strategi berbeda pula. Disisi lain Bapak Sabiq berpendapat bahwa ”gerakan mahasiswa sekarang terutama mahasiswa berbasis islam ada yang lebih senang mengangkat isu Internasional ketimbang isu lokal atau nasional serta konsennya mahasiswa hanya pada wilayah kekuasaan tidak lebih kepada wilayah kerakyatan, padahal kapasitas kita tidak bisa sampai sejauh itu, dan tentunya aksi-aksi seperti itu tidak akan lebih mengena pada persoalan yang sedang kita hadapi seperti satu senter menyinari bumi disiang hari”
Kemudian juga yang banyak dikeluhkan oleh para aktivis yakni kecenderungan minat mahasiswa untuk berorganisasi berkurang sehingga berdampak pada kurangnya kader pada sebuah gerakan itu sendiri.Ada hal yang menarik ketika era 98 yaitu konsekuensi seseorang menginginkan punya banyak kawan, ingin mencari jodoh maka konsekuensinya orang itu harus berorganisasi dikarenakan mayoritas orang pada saat itu ikut berorganisasi, hal yang mendukung tentunya tidak lain dari kesadaran pribadi serta kultur yang menghendakinya seperti itu.Dampak merosotnya minat Mahasiswa berorganisasi dapat dilihat dari indikator kurangnya generasi-generasi baru di beberapa organisasi.Sebagian Mahasiswa sekarang berasumsi bahwa berorganisasi dapat merusak nilai akademik kampus sehingga akibatnya prioritas lulus dengan predikat coumlaude atau lulus cepat tidak terpenuhi, sebenarnya asumsi itu yang mengakibatkan evaluasi terhadap dirinya sendiri lebih berkurang dan tidak mempunyai semangat .Proses pragmatisasi dan birokratisasi, atau dalam bahasa Weber, mahasiswa telah terperangkap dalam kerankeng besi rasionalitas yang selama ini telah mereka bangun sendiri. Pada gilirannya keadaan ini menjauhkan mahasiswa dari diskursus-diskursus pemikiran di kalangan intelektual yang marak belakangan ini.
Disorientasi gerakan mahasiswa saat ini sangat dirasakan sekali pasalnya kurangnya pemetaan dan konsep yang matang untuk melakukan manuver-manuver perubahan yang diharapkan membawa dinamisasi, seharusnya lebih segmented terhadap problematika sekarang ini. Idealnya gerakan Intelektual lebih diutamakan untuk mendapatkan win-win solution demi menjawab permasalahan yang memang boleh dibilang sangat komplek.Maka kedepan sebuah gelar yang memang sudah dikonstruksi oleh banyak orang untuk mahasiswa seperti agent of change, agent of social control, dan agent of iron stock kiranya masih pantas Mahasiswa diberi gelar itu.
Dengan perkembangan itu dapat dikatakan bahwa secara kuantitatif kiprah mahasiswa harus lebih besar yang kemudian memperkokoh citra diri (self-image) gerakan Mahasiswa sebagai gerakan intelektual yang bersifat praktis dan dapat memberi wacana mainstream yang dibutuhkan sekarang ini. Perubahan sosial dalam dinamika perubahan memiliki akar sejarah yang sangat kuat, perubahan dalam dinamika Islam dikenal tajdid sebagaimana dalam banyak literatur hadist, kemudian muncul dengan berbagai predikat seperti: reformisme, modernisme”. Sebagai pengemban perubahan sosial sesungguhnya tugasnya adalah melakukan perubahan sosial terhadap dinamika bangsa ini yang jauh melenceng dari norma-norma berlaku.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, bila kita melihat beberapa perspektif diatas, bahwa peranan dan posisi mahasiswa sangat strategis dalam memainkan perubahan bagi bangsa ini karena sebagai gerakan sosial posisinya sebagai alat perubah dalam setiap dinamika perubahan, Maka dalam konteks ini IMM mengajak sebagai bagian gerakan mahasiswa yang berhak memiliki dan berhak mengimplementasikan dikehidupan nyata. Sebagai sosok manusia yang diciptakan Allah SWT mempunyai fitrah kepemimpinan, maka kepemimpinan merupakan realitas keniscayan yang harus diemban sebagai bentuk ihktiar perubahan dalam dinamika hidup. IMM sebagai wadah kumpulan komunitas memerlukan ruang bagi kreator-kreator untuk menghidupkanya.
Billahi fi sabilil haq, fastabiqul khoerot











IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM)
KOMISARIAT SOEDIRMAN (KOMSOED)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

Sekretariat: Jl. Gunung Slamet Gg. Mawar Rt. 01/01, Kr wangkal, Purwokerto, CP : 0856 4284 3886


Baca Selanjutnya.....

Ora usah adu argument kalau ora nganggo dalil, bahaya mbok kepleset,,,,he,,,,

Ibarat bahtera kapal pesiar yang sedang mengarungi samudera luas, kalau bahan dasar pembuatan kapal tersebut menggunakan kayu keropos maka akan mudah terombang-ambing dan cepat musnah diterjang ombak lautan, sama halnya dengan manusia yang sedang mengarungi samudera kehidupan, ketika tidak memiliki pondasi yang kokoh dalam perjalanan hidupnya maka akan cepat pula terpengaruh kultur yang bisa membawa kita kejalan jahiliyah dulu. Di semua aktivitas, kita selalu terikat dengan apa yang dinamakn peraturan(kumpulan norma). Adapun klasifikasinya yaitu : wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Semisal makan itukan mubah, tetapi akan menjadi wajib jika laparnya kita menyebabkan kematian(kecuali lg saum), atau makan menjadi haram jika makanan yang kita makan diambil dan disembelih dgn cara yang tidak ma’ruf….karena “sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk Assunnah, dan sejelek-jelek perkara (ibadah) yaitu yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Jadi


ketika immawan-immawati menginginkan izzul Islama wal muslimin (kurang lebih artine kejayaan umat islam sebagai realita) maka sumber hukumnya Al-qur’an dan Assunnah, tidak ada yang lebih superior selain dua hal itu.Ingat Lex superior derogate legi infreori knapa??. meskipun Rasulullah di Madinah telah mewariskan Piagam Madinah yang menurut Robert N. Bellah lebih modern dari zamannya akan tetapi perilaku umatnya masih jauh dari sikap Nabi yang diteladaninya (Bellah, 2000:56). Atau ketika Masyarakat egaliter dan penghargaan sesama yang nampak pada zaman Nabi, lambat laun terhapus dengan terciptanya sistem monarki pada zaman dinasti Umaiyah, Abbasiyah, dan seterusnya.akan tetapi yang namanya uswatun khasanah tidak selalu disejajarkan sama persis dengan yang menirunya (perbedaan aktualisasi) .kepemimpinan setiap khalifah akan memiliki kelebihan sendiri-sendiri akan disesuaikan dengan kemampuannya (Allah tidak akan menimpakan suatu cobaan yang makhluknya tidak mampu mengembannya ), hal ini bisa dilihat pada masa dinasti umaiyah memperluas wilayah kekuasaan Islam dari sejak Afrika Utara, sebagian India, Afganistan, Turki, dan sebagian kerajaan romawi timur,, ,,,so pasti dalam ekspansi kekusaaan wilayahnya menggunakan etika islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Hal ini berbeda dengan masa khalifah Dinasti Abasiyah yang menekankan vitalisasi pengetahuan dan kebudayaan dengan sekuat tenaga dengan menghimpun para cendikiawan untuk mengadakan forum keilmuan dan kebudayaan yang dinamai”Darul-Hikmah” sehingga melahirkan Al-kindi(dokter,ahli optika , astronomi, dan geometri, Al-Farabi (ahli ilmu logika).
Mungkin saya termasuk orang yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian sempit, yakni yang hanya mengyangkut hubungan antara manusia dan Tuhannya. Sebaliknya, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara yang menginginkan kebangkitan Islam lewat praktek politik Islam yang diteladani oleh nabi Muhammad SAW dan Khulafau Al-Rasydin.
Jadiiiii harus adanya wajibisasi penggunaan dalil baik sejarah islam, nash Qur’an maupun sunnah kalau mau nulis di milis IMM_JATENG, ja pintere ngomong ngana-ngene tapi ngehenk… ingat-ingat lho huruf M yang paling belakang susah payah carinya…he…



RIZKY FAJAR
( KADER IMM KOM.SOEDIRMAN UNSOED)

Baca Selanjutnya.....

IMM GUNAKAN MOMEN HARI PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN PENGAJIAN BERSAMA MASYARAKAT



Walaupun hari pendidikan nasional sudah terlewatkan,semangat tak pernah berakhir. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)Jum’at (9/05)melakukan refleksi hardiknas dengan berbagi bersama dalam bentuk pengajian bersama warga dan pemberian Santunan berupa buku tulis kepada 110 anak-anak kurang mampu dibalai kelurahan Karangwangkal Purwokerto Utara . Pengajian yang bertemakan “Arti pentingnya pendidikan ” ini dihadiri oleh 200 orang yang terdiri dari kalangan masyarakat umum dan tokoh masyarakat sekitar karangwangkal, acara ini mendapat antusias dari pengunjungnya.
Rizky Fajar (Ketua Umum IMM komisariat Soedirman )mengapa acara ini sangat perlu diselenggarakan? Karena permasalahan pendidikan merupakan problematika yang sangat krusial, dimana pendidikan menentukan Sumber daya manusia suatu Negara.Jika pendidikan disuatu Negara tidak mendapatkan perhatian serius maka bisa dikatakan telah lemahnya pola pikir masyarakat didalam Negara untuk mempersiapkan dinamika jaman.Negara kita yang tidak berkomitmen dalam memprioritaskan pendidikan, menjadi suatu hambatan tersendiri dalam menghadapi era globalisasi.Apalagi Sistem Kapitalisme sudah merambah ke dalam wilayah pendidikan seperti komersialisasi pendidikan dari tingkat jenjang pendidikan SD sampai ke perguruan tinggi, menjadi penyumbat kemajuan pendidikan di Negara kita.Kemudian ditambah lagi kurikulum pendidikan yang berubah-ubah menjadi kebingungan tersendiri bagi siswa , buku-buku yang mempunyai cetakan kurikulum lama tidak digunakan kembali oleh generasi berikutnya, seperti ada permainan bisnis yang sudah sering dilakukan para oknum dalam ranah pendidikan.

Baca Selanjutnya.....

Jumat, 22 Februari 2008

KADERISASI DALAM KELUARGA MUHAMMADIYAH

KADERISASI DALAM KELUARGA MUHAMMADIYAH

Oleh : Chabibul Barnabas*

Muhammadiyah sejak didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912, telah menyatakan diri sebagai gerakan dakwah amar makruf nahyi mungkar, dan memiliki maksud dan tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya secara ideal dapat dirumuskan dalam "Baldathun Thoyyibatun warobbun Ghofur" Masyarakat Islam sebagaimana yang dicita-citakan Muhammadiyah dalam perwujudannya tentulah melalui perjalanan yang amat panjang. Sebab masyarakat yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat yang majemuk, baik dari pemahaman keIslaman maupun pada tataran aplikasi nilai-nilai Islam itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang paling awam sampai kepada yang paling alim, dari yang tidak tahu dan tidak melaksanakan sama sekali ajaran Islam bahkan yang wajib sekalipun, sampai kepada yang paling sholeh. Karenanya, membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya harus dimulai dari individu dan keluarga, setelah ada keluarga yang sakinah tentu ada zariyah thoyyibah kemudian sampai kepada "Baldathun Thoyyibatun warobbun Ghofur" itu (Amien Rais, 1995).

Kaderisasi dalam Muhammadiyah sebagai upaya transformasi nilai-nilai kepada generasi berikutnya adalah aktivitas yang sangat penting bagi tercapainya cita-cita Muhammadiyah. Dalam keluarga Muhammadiyah dimana awal mulanya generasi penerus Muhammadiyah ini ada, harus menjadikan kaderisasi sebagai kegiatan penting sehingga terjadi kesinambungan nilai dalam keluarga Muhammadiyah. Bukan seperti yang akhir-akhir ini terlihat dalam keluarga-keluarga Muhammadiyah. Alangkah banyaknya tokoh-tokoh Muhammadiyah yang keluarganya justru tidak tersentuh sedikitpun oleh Muhammadiyah. Sehingga muncul penilaian buat tokoh-tokoh seperti itu; Muhammadiyah hanya untuk dirinya sendiri saja, bukan untuk keluarganya. Fenomena menarik seringkali muncul di tengah-tengah keluarga tokoh Muhammadiyah seperti diatas, seperti; anak-anaknya tidak ada yang aktif dalam Angkatan Muda Muhammadiyah, jarang mengikuti kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, bahkan ketika sang tokoh itu meninggal dunia maka berakhirlah hubungan keluarga tersebut dengan Muhammadiyah ironisnya keluarganya mengadakan tahlilan 3, 7, 40 hari, dst hal ini diakibatkan ketidaktahuan atau akibat perbedaan paham dengan sang tokoh, wallohu 'alam.

Proses kaderisasi dalam keluarga Muhammadiyah menjadi penting artinya, tidak saja untuk transformasi nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah tetapi juga untuk melangsungkan kepemimpinan dan reorganisasi dalam Muhammadiyah. Sangat disayangkan bilamana ada tokoh atau pimpinan Muhammadiyah tetapi kemudian anak-anaknya tidak aktif di Muhammadiyah, jangankan menjadi pimpinan, menjadi anggota saja tidak?

Kaderisasi dimulai dari rumah

Keluarga Muhammadiyah sebagaimana yang dipandukan dalam Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah berkedudukan pertama, sebagai tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah yang dikenal dengan keluarga sakinah. Kemudian yang kedua adalah agar keluarga-keluarga dilingkungan Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah yang terkait dengan pembentukan Gerakan Jama'ah dan da'wah Jamaah menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Keluarga Muhammadiyah berfungsi antara lain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan da'wah di kemudian hari, dan keluarga dilingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanan dalam mempraktikkan kehidupan yang Islami yakni tertanamnya kebaikan dan bergaul dengan saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka, membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan , berbuat adil dan memelihara persamaan hak dan kewajiban serta menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.

Seorang anak dari keluarga Muhammadiyah akan merasakan bahwa dirinya adalah keluarga Muhammadiyah bilamana ada nuansa keMuhammadiyahan dalam keluarga atau rumah keluarga tersebut. Tidak saja dari aktivitas peribadahan saja seperti sholat, puasa, zakat dan lain-lain ( yang amat menonjol bisa terlihat pada saat pelaksanaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha yang berbeda dari masyarakat lainnya) tapi juga dari prilaku keseharian orang-orang dalam keluarga tersebut, mulai dari Ayah, Ibu, anak dan seluruh anggota keluarga lainnya. Seorang anak yang baru sekolah dan banyak bertanya mungkin akan menanyakan kepada ibunya, mengapa ibunya selalu berkerudung atau berjilbab dan ketika ada orang lain bukan muhrim ada yang bertamu kerumah, ibunya belum mau keluar kalau belum memakai kerudung. Mengapa ibunya tidak mau bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya sedangkan dengan pamannya bersalaman. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan terjawab dengan sendirinya oleh anak-anak tersebut dengan perlahan-lahan dia mengenal ajaran Islam, dan ajaran Islam yang dia kenal langsung bisa dilihat sendiri sehari-hari dalam rumahnya, tidak saja ada dibuku-buku atau ceramah-ceramah guru-guru atau ustadz-ustadz di Masjid dan Musholla.

Waktu paling menentukan perkembangan kepribadian anak adalah menjelang remaja, dimana apa yang dia pahami berkat belajar sehari-hari akan banyak membekas dalam kehidupannya. Ketika seorang anak dalam keluarga Muhammadiyah bisa melewati masa-masa itu dalam nuansa Kemuhammadiyahan yang kental maka Insla Allah anak tersebut kelak akan menjadi kader-kader Muhammadiyah yang kental. Sebab memasukkannya kedalam lingkungan lain di luar rumah seperti organisasi otonom seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang sulit. Sudah ada bekal yang dimilikinya dalam keluarga yang memudahkannya beradaptasi, dan kemudian memperdalam pengetahuan, militansi dakwah dan juga ketrampilannya dalam menjalankan tugas-tugas persyarikatan.

Mengarahkan Aktivitas Anak Menjadi Kader

Seorang anak dalam keluarga Muhammadiyah apakah cukup dengan memberikan nilai-nilai saja dalam keluarga?, tentu saja tidak. Sebab seorang anak kemudian akan menginjak remaja dan seterusnya akan menjadi dewasa. Ilustrasi tentang seorang tokoh Muhammadiyah yang anaknya tidak menjadi pengurus ortom bahkan anggota, kemungkinan disebabkan karena memang tidak diarahkan oleh orang tuanya. Tidak ada proses adaptasi pendahuluan yang dilakukan orang tua sehingga kemudian anaknya betul-betul dapat menikmati beraktivitas dalam lingkungan Muhammadiyah. Sebagai contoh adalah mengajak anak dalam acara-acara Muhammadiyah, memperkenalkan anak dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan keluarganya, mengadakan pengajian-pengajian keluarga dimana seluruh anggota keluarga juga dilibatkan, dan seterusnya dimana semuanya adalah proses adaptasi bagi seorang anak sehingga kemudian dia lebih mengenal dan menghayati Muhammadiyah.

Dalam realitas keseharian warga Muhammadiyah banyak juga yang justru aktivitas anak-anaknya tidak terkontrol dengan baik. Jangankan mendekatkan diri dengan aktivitas dakwah seperti Muhammadiyah bahkan ada juga yang terlibat dengan pergaulan yang jauh dari nilai-nilai Islam.

Bagi seorang kader Muhammadiyah yang telah mengalami proses pendidikan dan pengemblengan dalam keluarganya sedemikian rupa sehingga kemudian dia betul-betul mengenal Muhammadiyah, beraktivitas dalam ortom Muhammadiyah akan menjadi mudah. Dengan demikianlah dia nanti bisa menggantikan posisi orangtuanya yang juga adalah tokoh Muhammadiyah. Maka mulailah kader tersebut menapaki aktivitasnya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul "Aisyiyah dan seterusnya menjadi kader andalan di persyarikatan Muhammadiyah. Dalam realitasnya tentu saja hal ini tidaklah mudah, ini memerlukan upaya yang terus menerus dari keluarga-keluarga Muhammadiyah dan juga pengontrolan dan evaluasi terus menerus.

Apa yang telah diuraikan dalam konsep da'wah jama'ah Muhammadiyah adalah sesuatu yang sudah memadai untuk dilaksanakan dalam keluarga-keluarga Muhammadiyah. Akan tetapi mungkin pendekatan konsep saja tidaklah cukup perlu pendekatan nuansa atau gerakan atau budaya yang itu lebih bersifat mental dibanding pendekatan teoritis atau konseptual. Betapa mudah kita membuat konsep tapi menjalankan yang kecil-kecil dalam keluarga kita susah sekali, seperti yang kita lihat sekarang ini.

Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umatt dan bangsa. Karenanya, kaderisasi Muhammadiyah harus dimulai dari keluarga dengan komitmen yang kuat dari kepala keluarga dan isteri untuk memberikan tauladan yang baik kepada anak-anak sebagai kader-kader yang akan melangsungkan perjuangan Muhammadiyah.



Mulailah Kita dari Sekarang atau Keruntuhan Persyarikatan akan Lebih Cepat Terjadi !!!

* Penulis, adalah aktivis Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Cilacap, juga di LSM PSKL Pusaka Cilacap.

Baca Selanjutnya.....
 

© 2007 Laskar Soedirman: 2008 | Design by Template Unik



Template unik dari rohman


---[[ Skip to top ]]---