oleh: Aris Hardinanto
Para sosiolog sejak lama berbicara tentang agama sebagai sumber kekerasan. T.K. Oommen, sosiolog asal India, misalnya, menyimpulkan bahwa kekerasan agama bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tapi juga karena agama sendiri menyediakan rujukan yang cukup banyak untuk perilaku semacam itu. Oommen melakukan penelitiannya terhadap semua agama besar dunia, termasuk Islam dan Hindu (T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001).
Kaum agamawan dan para moralis biasanya menolak pandangan atau hasil penelitian semacam itu. Bagi mereka, kekerasan bertentangan dengan pesan luhur semua agama. Karenanya tidak mungkin agama menjadi sumber kekerasan. Kalaupun ada kekerasan yang bekaitan dengan agama, maka itu merupakan perbuatan “oknum” pemeluk agama.
Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.
Saya kira, temuan para sosiolog itu harus disikapi dengan arif. Sikap emosi dan prasangka buta bukanlah respon yang bijak. Marilah kita mengaca dan memeriksa diri apakah memang agama benar-benar menyediakan amunisi kepada pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan.
Pertama-tama, kekerasan, saya kira, harus dipahami sebagai konsekwensi dari sikap intoleran kepada orang lain (atau pemeluk agama lain). Kalaupun agama tak secara langsung menyuruh umatnya melakukan kekerasan (seperti teror dan perusakan), agama, saya kira, menyediakan pesan yang cukup banyak untuk bersikap tidak toleran.
Saya ingin memberi contoh satu doktrin Islam yang sering digunakan oleh kaum Muslim untuk membenarkan perilaku intoleran dan bahkan tindak kekerasan kepada orang lain; yakni doktrin “amar makruf nahi munkar” yang sangat terkenal itu. Doktrin ini, menurut saya, memberikan peluang bagi intoleransi dan kekerasan.
“Amar makruf nahi munkar” artinya menyuruh orang kepada kebaikan dan mencegahnya berbuat hal-hal yang munkar atau dilarang agama. Sebagian kaum Muslim menganggap bahwa “mencegah yang munkar” harus dilakukan pertama-tama dengan kekerasan (secara fisik), karena sebuah hadis dengan tegas menganjurkan: “Jika kalian melihat suatu kemunkaran, ambillah tindakan dengan tangan kalian…” (man ra’a minkum munkaran, fal yughayyir biyadih…).
Doktrin dan pemahaman ini dipakai oleh sekelompok kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia untuk membenarkan perbuatan mereka melakukan razia dan perusakan terhadap tempat-tempat yang mereka anggap sebagai maksiat atau kemunkaran. Di Indonesia, kelompok semacam ini diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam), sedangkan di Malaysia diwakili oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan).
Baru-baru ini, JAWI melakukan serangkaian razia dan penangkapan terhadap anak-anak muda yang sedang berkumpul di kafe dan tempat-tempat umum (Sunday Mail, 23 Januari 2005). Tindakan ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh para anggota FPI beberapa bulan lalu. Masyarakat resah dengan tindakan sewenang-wenang itu. Dan mereka menuntut PM Abdullah Badawi segera menertibkan para “polisi moral” itu.
Tapi, para pemimpin JAWI tak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Ketika salah seorang pemimpin mereka ditanya mengapa melakukan perbuatan itu, jawabannya persis seperti yang pernah dikemukakan pemimpin FPI, yakni mereka berusaha menerapkan amar makruf nahi munkar dan hadis nabi man ra’a minkum munkaran. (Luthfi Assyaukanie)
Comment Form under post in blogger/blogspot