Oleh Rizky Fajar
Akhir-akhir ini media masa ramai menyoroti kasus pimpinan KPK non aktif (bibit-candra) yang diperiksa oleh penyidik Polri karena diduga menerima suap yang hingga akhirnya mereka sekarang ditangguhkan karena belum cukup bukti yang kuat dan kasus keputusan bail out (dana talangan) Bank Century yang tidak sesuai dengan persetujuan DPR , dana talangan yang seharusnya untuk Bank Century hanya Rp 1,3 triliun, tetapi LPS menyuntikan dana ke Bank Century hingga mencapai Rp 6,77 triliun entah tangan gaib mana( invisible hand) yang bermain ditingkatan elit hingga mencapai angka triliunan tersebut. Dua kasus diatas hanya variabel kecil yang bisa kita simak secara nyata penyelesaian hukum positif di negara kita.
Penegakan hukum di Indonesia seolah-olah mengalami batu terjalnya dengan munculnya beberapa masalah ditataran penegak kelas elit. Aparat penegak hukum ibarat mendapat sindiran telak agar dituntut profesionalismenya, terutama dalam hal kemampuan menerapkan aturan secara berani benar dan tepat agar memutus dengan adil meski mendapat tekanan secara psikologis dari manapun, serta meningkatkan integritas moralnya. Jika kita merujuk pada definisi hukum dari pandangan Utrecht “ hukum itu merupakan himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat”( Drs.C.S.T Kansil.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia:hal 38), maka semua elemen masyarakat wajib mengabdikan diri terhadap tata tertib yang sudah disepakati tanpa kecuali penegak hukum. Hukum bukan hanya identik dengan Pengadilan, kejaksaan, atau instansi pemerintah tetapi lini kehidupan manusia akan selalu menemui hukum.
Profesor Apeldoorn berpendapat bahwa tujuan adanya hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Pendapat Apeldoorn secara tekstual mengandung makna cita-cita masyarakat berkeadilan sosial (social justice), dimana masyarakat mengonsep aturan sendiri untuk dijadikan kesepakatan bersama. Hukum dituntut untuk memenuhi karya Radburch ketiga-tiganya itu disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum (Radburch, 1961 ;36). Ketiga nilai dasar tersebut adalah keadilan, kepastian hukum, kegunaan. Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara antara mereka terdapat suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian itu bisa dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berpotenssi bertentangan antara satu dengan yang lain, apabila yang kita ambil adalah kepastian hukum maka nilainya akan menggeser nilai keadilan, maupun sebaliknya. Yang utama bagi kepastian hukum adalah peraturannya, apakah peraturan tersebut harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya , adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum itu sendiri.
Memang agak terlalu egois jika kepastian hukum menjadi yang lebih utama
Hukum juga merupakan perangkat sistem sosial yang ditugaskan mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakatnya agar menciptakan suasana yang tertib demi keadilan. Hukum melakukan tugas dengan prosedurnya dalam mengatur hubungan antara orang satu dengan yang lain, dibidang ekonomi, perdagangan, lau lintas, dalam lingkungan keluarga dan lain sebagainya. Suatu hukum senyatanya dipandang perlu adanya, karena manusia atas manusia yang lain memiliki kecenderungan watak yang agresif yang dapat memunculkan konflik maka dalam teorinya Hobbes, dia mengatakan bahwa homo homini lupus dalam masyarakat seorang merupakan serigala bagi yang lain.
Hukum tidaklah bebas nilai, melainkan harus berpihak pada yang lemah (mustadh’afin) , kalau diera sekarang hukum sebagai rekayasa sosial oleh para elit bukan rekayasa yang dikehendaki masyarakat, disini melihat hukum sebagai mesin yang menjadikan manusia sebagai objek bukan sebagai subjek atau aktor. Maka akan lebih baik jika hukum diselaraskan dengan local wisdom, artinya masyarakat mencari hakim ditengah komunitasnya sendiri karena hakim adalah orang yang tahu tentang kultur masyarakat, hal ini pun disebutkan dalam Undang-Undang no 4 tahun 2004 tentang kekuasan kehakiman pasal 28 (ayat 1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan (ayat 2)Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hukum menjadi kiblat yang ideal jika mementingkan asas keadilan sebagai kualifikasi utama dalam pelaksanaanya.