MENGEPAKAN SEPASANG SAYAP JIHAD
Oleh : Hari Satriyo
Oleh : Hari Satriyo
Terinspirasi dari sebuah tulisan Ayahnda kami Muhammad Nasiruddin dalam majalah Suara Muhammadiyah, maka ada baiknya kami ketengahkan kehadiran para pembaca sekalian ide dasar tulisan tersebut.
Ditengah lesunya gelora kaum muda yang tercerahkan akan semangat dakwah amar ma'ruf nahiy munkar dan semakin terbukanya tabir-tabir kebobrokan negeri. Dahulu kita memiliki sejarah bangsa yang mampu bergerak bersama, untuk menunjukan harga dirinya sebagai manusia yang ditakdirkan memiliki kedaulatan dari penindasan serta pengikisan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan dari kaum imperalis, namun setelah masa tersebut, negeri yang dahulu sempat menjadi salah satu barometer kemajuan peradaban di kawasan Asia Tenggara ini, sekarang hanya menjadi negeri yang selalu didikte oleh kepentingan negara-negara lain.
Pulau, wayang, batik, lagu daerah, kayu hutan telah terampas oleh bangsa lain. Putra-Putri bangsa ini diperlakukan menjadi budak hina yang dinilai hanya sebatas nilai mata uang hingga layak diperlalukan secara tidak manusiawi di negara-negara lain.
Mata-mata asing bebas berkeliaran dan mengatur strategi dari dalam negara kita, bahkan sampai berani berkomentar dan menekan aparatur negara tentang tindakan yang harus dilakukan. Belum lagi bebasnya kapal-kapal asing yang mengawal pencurian hasil bumi kayu hutan kita di Ambalat, atau pasir pantai dan minyak bumi kita di Selat Malaka. Fenomena tersebut menggambarkan bangsa ini tak lagi dianggap sebagai bangsa yang memiliki kekuatan untuk mempertahankan harga diri dan martabatnya sebagai bangsa yang berdaulat.
Terlebih menggelikan para elit politik yang dianggap sebagai Sang Ratu Adil, Mesias, atau bahkan para prajurit pilihan Imam Mahdi, malah menunjukan sikap yang menyakitkan hati kita semua, mereka seakan lebih mengutamakan kepentingan bangsa asing atas nama pembangunan dan modernitas, maka tak heran RUU anti pornografi dan pornoaksi masih terkatung-katung tak jelas kepastiannya. Padahal semakin hari degradasi moral anak bangsa semakin terancam. Ternyata memang benar analisis kami selama ini bahwa RUU tersebut hanyalah sebagai isu yang diciptakan untuk mengalihkan perhatian kita terhadap isu lain, coba kita bandingkan bagaimana cepat disahkannya Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, bahkan undang-undang yang secara tersirat melegalkan aborsi? Atau kita juga kembali harus bersabar ketika pemerintah kita lebih sibuk berpolemik terhadap perjanjian ekstradisi dengan Singapura dengan dalih melacak kekayaan negara, namun ujung-ujungnya adalah proyek militer yang dapat mengancam kedaulatan, dibanding segera menyelesaikan perjanjian bilateral bagaimana memberikan perlindungan para Pahlawan Devisa yang dicambuk, diperkosa, dikurung tanpa kepastian, yang jelas-jelas mereka memiliki peran yang cukup signifikan dalam perolehan pendapatan bagi negara kita.
Fenomena yang mengkhawatirkan adalah tercerabutnya idealisme kaum muda tercerahkan, yang kami lihat mengalami stagnanisasi gerakan ketika dihadapkan pada antipati masyarakat dimana anggapan mereka yang bergerak hanya kaum perusuh dan pemberang yang malas berpikir, bahkan tak jarang fatwa haram sebuah metode gerakan begitu mudah dilekatkan pada kaum muda tadi, stigma liberal dan kekiri-kirian pun akhirnya harus disandang. Hal ini seharusnya malah menjadi sebuah evaluasi gerakan, bukan malah ikut membeo menjadi pengkritik namun tak kuasa menghadapi fenomena kedzaliman bahkan larut dalam pragmatisme hidup, pagi belajar tentang nilai, sore hari khotbah tentang nilai, malam hari bermesraan dengan elite berada di semua tim sukses dengan dalih perebutan kekuasaan untuk perubahan. Atau pagi belajar tentang nilai, siang hari menghujat habis kawan-kawannya yang berdakwah, malam hari larut dalam majelis-majelis maksiat.
Sungguh apakah kita tidak belajar dari sejarah Kenabian, dimana Nabi Musa As. dan ummatnya harus rela dikejar-kejar Fir'aun, atau Nabi Nuh As. dan ummatnya yang dianggap mengigau bak orang gila, Nabi Isa As. beserta ummatnya yang harus rela dikejar-kejar hingga berakhir di tiang salib, sementara Nabi Isa As. diselamatkan sebagai saksi atas kebenaran yang hakiki, bahkan cobaan yang dihadapi oleh seorang individu Bilal Ra. yang harus rela dijemur ditengah padang pasir yang terik dan ditindih batu demi memegang teguh nilai kebenaran yang disampaikan Baginda Rasul Muhammad Saw. Pelajaran yang harus kita petik adalah semangat mereka yang tak pernah mengenal rasa putus asa, bahkan apatis demi menyelamatkan diri sendiri.
Ada baiknya kita merenungkan surat cinta dari Allah Swt. kepada kita perihal jihad fisabilillah ini ;
Artinya : “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Dalam surat at Taubah ayat 41 tersebut, disebutkan setangkup wujud dalam berjihad yakni dengan harta dan jiwa, dimana kita diperintahkan berjihad atau bersungguh-sungguh di jalan-Nya sebagai konsekuensi kita sebagai ummat Islam, agar kita bisa sukses untuk hidup secara individual maupun sosial, atau kunci sukses kehidupan di dunia yang kemudian menjadi kunci sukses menuju kehidupan di akhirat. Maka barang siapa berjihad sesungguhya dia berjihad untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dalam ayat tersebut terdapat dua syarat dalam berjihad di jalan Allah yakni, dengan niat dan semangatnya serta caranya adalah dengan jiwa dan hartanya. Analogi penjelasan mengenai caranya, yakni tidak dengan memilih cara tersebut. Di dalam ayat tersebut disebutkan bi amwaa likum wa angfusikum, kata wa (dan) merupakan kesatuan syarat bukan menunjukan sebuah pilihan. Sehingga perintah pelaksanaan jihad dengan zakat (harta) dan shalat (jiwa), juga untuk berjihad dengan infak (harta) serta bertahajjud (jiwa), atau berjihad dengan sedekah (harta) melainkan juga dengan shalat rawatib (jiwa). Analogi dari perintah cara berjihad tersebut menunjukan adanya saling melengkapi guna pencapaian kata sempurnanya sebuah tujuan, layaknya setangkup sayap pada burung yang tidak akan berfungsi secara optimal sebagai alat untuk terbang bila salah satunya patah.
Andaipun kita mencoba memaknai ayat tersebut secara parsial, maka yang terjadi tidak lain adalah, apabila berjihad hanya dengan harta atau sesuatu yang sifatnya materiil—zakat-sedekah-pendampingan-diskusi-baksos-mengorganisir massa—saja akan berkecenderungan memupuk sikap berkecukupan, lantas terbit kesombongan yang dapat menutup hati kita untuk tunduk taat kepada Allah Swt. yang akhirnya hanya membuahkan romantisme gerakan yang dapat memicu perpecahan antara elemen perubahan dengan saling ejek karena merasa kelompoknyalah yang paling memberikan kontribusi, hingga terhalanglah kebaikan yang harus disegerakan. Padahal Allah Swt. dengan cinta-Nya mengingatkan kita akan tujuan hakiki dari penciptaan kita, yakni dalam surat Ad Dzaariyat ayat 56 :
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Hal sebaliknya juga belum bisa mencukupi, yakni berjihad dengan laku jiwa atau immateriil—shalat-puasa-haji-tahjjud—semata, sebab tanpa pernah melakukan jihad yang sifatnya materiil, maka perasaan terikat pada kepemilikan dan ketakutan berlebih akan terancamnya basic security (rasa aman dari ancaman lapar, rasa aman dari hinaan, rasa aman dari tidak melihat keburukan sesuatu, rasa aman dari terganggunya kepentingan individualnya, rasa aman dari kebutuhan mendapat prioritas dalam segala hal) kita cenderung akan menguat serta bisa melebar hingga menutupi rasa kasih sayang dan peka hati pada kebutuhan sesama.
Sebagai akibat laku jiwa yang tanpa laku harta, ataupun amalan shalat yang tanpa amalan zakat hanyalah memupuk sisi kehambaan dan kepasrahan total kepada Tuhan, tetapi sama sekali tanpa efek sosial. Secara tegas hal seperti ini telah dikecam Allah Swt. (Qs. Al Ma'un ayat 1-7) sebagai perilaku pendusta agama, yakni orang yang melakukan shalat tetapi buah shalatnya tidak berlanjut hingga sampai pada perilaku bermurah hati. Demikian juga hal yang sebaliknya bahwa, amalan zakat yang tanpa amalan shalat hanya akan bernilai sebagai kezaliman, yakni penganiayaan kepada diri sendiri (Qs. Al Imran ayat 117).
Hamparan medan berjihad di jalan Allah Swt. terhampar sangat luas bukan hanya pada perebutan kekuasaan semata, yakni lewat jalur politik atau bahkan revolusi fisik, namun juga ada perebutan tentang kubu sejarah dimana kemampuan penanaman nilai melalui perjuangan paradigmatik juga harus disentuh, dan hal ini jarang sekali dilakukan oleh elemen gerakan kepemudaan, terutama mahasiswa. Maka sering kali kita terjebak pada pola perjuangan yang parsial dan monoton, karena sudut pandang kita terjebak pada pola pikir monokausal, yang akhirnya berekses pada menurunnya ghirah perjuangan.
Sementara perjuangan perebutan kubu sejarah butuh waktu yang cukup lama dan sikap istiqomah agar terwujud sebuah paradigma baru dalam tubuh masyarakat, seringkali kita tidak bersabar untuk melakukan pendidikan, perumusan, dan pengawalan pranata sosial, hukum, ekonomi, budaya, lalu yang terakhir moral yang dianggap sebagai variabel paling tabu disentuh. Padahal perebutan kekuasaan tanpa kemantapan penggarapan paradigmatik hanya akan memunculkan penjajahan bentuk baru, karena hanya didasari atas sudut pandang “kepentingan” yang dangkal—siapa berbicara apa dan dapat apa, akhirnya hanya sudut ego kelompok yang berbicara.