-

Selasa, 04 Desember 2007

TAFSIR POLITIK ISLAM

TAFSIR POLITIK ISLAM
Oleh : IMMawan Fany Ardianto


Perdebatan tentang hubungan politik dan agama sampai sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan dikalangan para ilmuwan/cendekiawan, politisi, ulama, dan bahkan masyarakat pada umumnya. Perdebatan tersebut mungkin bagi sebagian kalangan beranggapan sudah tidak perlu dibicarakan lagi, dengan alasan bahwa hal tersebut sudah jelas dalam teks-teks kitab suci, meskipun penjelasan tersebut tidak secara tekstual. Namun perdebatan tersebut juga telah melahirkan berbagai pemikiran segar dalam bidang politik, tentu saja dalam hal ini Politik Islam yang landasan utamanya pada nilai-nilai dan etika keagamaan (Islam).

Islam adalah agama yang di dalamnya bukan hanya mengatur tentang bagaimana kita beribadah (mahdah) melainkan juga dalam Islam diajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan (muammalah). Kategori yang termasuk ajaran tentang ibadah mahdah adalah tentang bagaimana kita melaksanakan Rukun Islam yang 5 itu, dan hal tersebut tidak boleh ditawar-tawar lagi oleh manusia. Sedangkan diluar Rukun Islam yang 5 tersebut itu termasuk sebagai ibadah muammalah. Dalam beribadah muammalah, manusia diberikan ruang untuk berekspresi menggunakan otak yang dikaruniai oleh Allah SWT. dengan tetap berpegang teguh pada ajaran dan nilai-nilai yang sesuai dengan Al-Qur'an sebagai pedoman dan falsafah hidup.

Politik, ekonomi, sosial, dan budaya adalah yang termasuk dalam wilayah muammalah. Seperti yang dikatakan di atas, dalam wilayah ini manusia diberikan kebebasan berpikir dalam rangka memperoleh konsep-konsep yang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, yang dari waktu ke waktu tentu saja mengalami perubahan, dan perubahan tersebut haruslah disikapi dengan tawaran-tawaran konsep yang tentu saja tawaran-tawaran konsep tersebut masih dalam koridor nilai-nilai keIslaman. Dengan kebebasan berpikir tersebut, bukan hal yang mustahil apabila antara manusia yang satu dengan manusia yang lain mempunyai pemikiran yang berbeda-beda, karena sudah sifatnyalah bahwa tafsir itu bersifat relatif. Begitu juga dengan pemikiran tentang Politik Islam, terdapat berbagai macam penafsiran tentang hal ini.

Beragam pemikiran mengenai Politik Islam telah lahir, mulai dari hal yang paling mendasar, yaitu seperti apakah pengertian Politik dalam Islam, konsep negara dan pemerintahan dalam Islam, peran dan partisipasi agama serta ummatnya dalam politik, dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran yang lain. Namun yang penting, disamping munculnya beragam definisi tentang Politik Islam, adalah bagaimana dari pengertian-pengertian tersebut kemudian dirumuskan konsep-konsep yang bisa memihak kepada seluruh ummat Islam, terutama kepada wong cilik atau dalam bahasa lainnya disebut sebagai kaum mustadl'afin.

Indonesia sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sampai saat ini masih belum bisa menemukan konsep politik yang berpihak pada kaum cilik. Hal ini tentu saja sangat ironis, negara dengan penduduk terbesar muslim, sebagian besar lagislatornya adalah orang Islam dan pemegang kebijakannya adalah juga orang Islam, namun dalam kenyataannya penduduk yang sebagian besar ini adalah korban dari kebijakan-kebijakan negara yang masih belum menyentuh wilayah wong cilik.


Tulisan ini akan mengutip pengertian Politik Islam yang dikemukakan oleh seorang tokoh muslim Indonesia yang bernama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amirullah atau yang lebih dikenal dengan HAMKA. Berpijak dari definisi yang dikemukakan beliau, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana seharusnya wilayah politik bisa menyentuh dan memihak kepada kaum mustadl'afin.


Definisi Politik Islam Menurut HAMKA
Beragam definisi tentang politik telah banyak dikemukakan oleh para teorisi politik, baik itu teorisi muslim maupun non-muslim yang berasal dari Indonesia dan luar negeri. Pada umumnya mereka dalam mendefinisikan politik selalu mengaitkannya dengan kekuasaan. Dalam bukunya Ahmad Hakim dan M. Thalhah yang berjudul Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, disebutkan paling tidak ada dua kecenderungan pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas, atau dengan konflik. Secara global, Ilmu Politik Islam dapat dipahami sebagaimana Ilmu Politik pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah landasan ide yang mendasari definisi tersebut. Politik Islam tentu saja mendasarkan penggalian ide-ide politiknya bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wahyu Tuhan dalam Politik Islam mendapatkan posisi urgen.

Politik Islam dan Keberpihakan terhadap Mustadl'afin
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Teologi Kiri memberikan gambaran tentang definisi dari kaum Mustadl'afin. Kaum Mustadl'afin, atau yang dalam bahasa populernya disebut sebagai kaum proletar, tidak selalu terkait dengan struktur masyarakat industri, walaupun ia muncul akibat pola produksi yang tidak adil. (A. Munir Mulkhan, 2002). Oleh karenanya pemihakan kepada kaum Mustadl'afin bukan didasari ideologi protes atau pemberontakan, melainkan keharusan teologis distribusi yang berkeadilan dan membuka ruang bagi kaum Mustadl'afin untuk tumbuh mandiri.

Seperti yang dikatakan di atas, bahwa dalam Politik Islam wahyu mendapatkan posisi yang urgen. Lalu kemudian yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana kedudukan dan peran wahyu Tuhan dalam Politik Islam itu sendiri ?

Menjawab persoalan tersebut, sangat menarik bila kita membaca tulisannya Abdul Munir Mulkhan. Menurutnya, keyakinan atas kebenaran mutlak ajaran Tuhan dalam wahyu-Nya dari pemeluk semua agama memang tidak bisa digugat. Namun keyakinan bahwa paham dan pandangan politik pemeluk agama bersumber wahyu yang diklaim memiliki derajat kebenaran mutlak, perlu digugat dan diluruskan. Artinya secara singkat bahwa dengan berdalih pada kebenaran dan keyakinan akan kebenaran wahyu Tuhan, sering kali tindakan politik pemeluk agama selalu ditempatkan sebagai cerminan kehendak Tuhan yang tidak bisa salah dan tidak bisa dikritik oleh siapapun. Setiap tindakan politiknya itu dilakukan semata-mata karena anggapan mereka bahwa inilah yang dikehendaki oleh Tuhan, yang telah menciptakan manusia yang salah satu fungsinya sebagai pemimpin di muka bumi. Tindakan semacam ini bukan tidak mungkin akan mematikan sikap demokratis, terutama di kalangan ummat Islam itu sendiri. Dengan berpedoman seperti itu, maka mereka menganggap bahwa sikap dan politiknya dilakukan sepenuhnya atas restu Tuhan, termasuk juga pilihannya pada partai tertentu. Beranjak dari anggapan bahwa apapun yang dilakukannya dalam berpolitik itu dilakukan atas restu Tuhan, sehingga nantinya jika partai pilihannya mengalami kekalahan, terutama partai berlabel agama, mereka berasumsi bahwa kekalahan tersebut dikarenakan adanya konspirasi “setan” diluar partai mereka yang lebih kuat dari persatuan ummat Islam mendukung partai Islam, dan konspirasi tersebut haruslah dihancurkan dengan segala cara. Apabila hal ini sampai terjadi, dimana pemeluk agama yang berkeyakinan seperti itu melakukan tindakan dengan segala cara untuk menghancurkan partai diluar partai pilihan mereka yang dianggap sebagai konspirasi setan, sama artinya mereka juga menggunakan cara-cara setan dalam berpolitik, dan hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Politik Islam. Dan menurut Munir Mulkhan pandangan ummat yang demikian itu tidak konsisten dan bertentangan dengan keyakinan kebenaran tunggal yang hanya datang dari Tuhan, dan semua perilaku manusia seperti halnya tafsir atas wahyu Tuhan bersifat relatif.

Salah satu prinsip dalam Politik Islam adalah tentang moral politik. Hamka dalam beberapa bukunya banyak menyinggung betapa pentingnya seorang muslim hidup konsisten, terutama muslim yang wajib memiliki ilmu pengetahuan. Persoalan fundamental dalam hal ini adalah tentang konsistensi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perbuatannya. Pengetahuan berarti bahwa seorang muslim harus tahu siapa Tuhannya, bagaimana cara-cara menuruti kehendakNya, perbuatan-perbuatan mana yang disukai-Nya dan yang tidak disukai-Nya. Apabila seorang muslim sudah mempunyai bekal pengetahuan tersebut, maka selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melaksanakan kehendak-kehendakNya dan mengabaikan sikap egois/hawa nafsu dirinya sendiri, dan tentunya ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan.


Praktek keagamaan yang dilakukan oleh setiap individu merupakan hasil penafsiran atas teks-teks kitab suci, dan penafsiran satu individu belum tentu sama dengan individu lainnya. Demikian halnya dengan tindakan politik seseorang, tidak jarang mereka mengatasnamakan agama. Entah apapun maksud dibalik perilaku tersebut, sampai saat ini fenomena tersebut masih sering terjadi. Mereka yang merasa taat pada ajaran-Nya yakin bahwa dirinya berada di posisi lebih dekat dengan-Nya dibanding orang lain, sehingga memandang bahwa dirinya memiliki kekuasaan atas semua hal yang berada di bawah kekuasaan Tuhan. Praktek keagamaan seperti itu tidak pernah terpisahkan dari praktek politik.


Praktek politik yang demikian, yaitu mencampuradukkannya dengan praktek keagamaan, masih terus-menerus terjadi di Indonesia. Para ulama sering kali dijadikan “alat” oleh para politisi untuk melegitimasikan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh politisi tersebut. Hal ini bukanlah sesuatu yang salah dilakukan, namun menjadi hal yang salah dilakukan karena ulama yang dijadikan “alat” tersebut sering kali membolak-balikan dan membelokan ayat maupun hadis hanya untuk membenarkan ucapan politisi/elite politik. Sementara itu pembenaran itu seringkali tidak berpihak pada kaum Mustadl'afin dan hanya berpihak pada kaum elite saja. Dalam kehidupan bernegara, banyak sekali persoalan yang perlu di cari jalan keluarnya, bukan hanya sebatas pembenaran pada ayat dan hadis.

Diperlukan kejernihan hati dan pikiran bagi setiap muslim dan elite dalam melihat persoalan yang terjadi di negara ini, yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Dengan berpijak pada kejernihan hati dan pikiran tersebut seharusnya setiap muslim dan elite Islam seharusnya mampu melihat secara jujur dan objektif terhadap segala persoalan yang terjadi. Kejernihan hati dan pikiran itulah yang kemudian dijadikan landasan perjuangan oleh kaum muslim pada umumnya dan khususnya bagi elite muslim, dimana elite muslim mempunyai kekuasaan dan berkewajiban membela kaum Mustadl'afin.

Perjuangan yang selama ini dilakukan oleh elite muslim selalu mengalami kegagalan, dan kegagalan tersebut terus-menerus menimpa pihak Islam. Sebab kegagalan tersebut salah satunya adalah terletak pada ide-ide yang selama ini hanya bersumber pada elite, bukan pada kebanyakan kaum mustadl'afin yang menempati posisi mayoritas di negeri ini. Penggalian ide yang hanya terbatas pada kaum elite itu pada akhirnya juga akan menghasilkan sebuah rumusan yang juga hanya menguntungkan kaum elite itu sendiri, dan disini sekali lagi kaum mustadl'afin mengalami ketertindasan.


Perjuangan yang demikian itu tentu saja menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan. Keadilan disini berarti berlaku dan berhak didapatkan oleh siapa saja, termasuk kaum mustadl'afin. Kaum Mustadl'afin yang menempati posisi mayoritas justru tidak mendapatkan hak yang semestinya di negeri yang mengaku sebagai negeri yang demokratis.


Keadaan yang seperti ini bukan tidak mungkin akan menyebabkan konflik, baik itu konflik antara umat Islam itu sendiri maupun antara umat Islam dengan umat lain. Konflik yang terjadi tidak lepas dari konflik kepentingan. Pihak yang kepentingannya tak terakomodasi mengartikannya sebagai kesalahan pihak lain, dan disini politik menjadi cemin benar-salah, wajib-haram, dosa-pahala, bukan suatu “permainan kompromi” bersumber etika kolektif dari tindakan rasional guna mencari dukungan mayoritas dengan meyakinkan pihak lain (Munir Mulkhan, 2000).


Penutup
Definisi politik Islam yang beragam tidak terlepas dari tingkat pemahaman dalam menafsirkan teks-teks kitab suci. Para politisi yang mengaku sebagai bagian dari umat muslim haruslah mempunyai kejernihan hati dan pikiran dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Kejernihan hati dan pikiran tersebut nantinya juga harus dijadikan sebagai landasan dalam perjuangan Islam. Perjuangan Islam yang sering kali mengalami kegagalan ini, bukan hanya disebabkan oleh kotornya hati maupun pikiran umat Islam, melainkan akibat dari penggalian ide-ide yang hanya bersumber pada elite, bukan pada kaum Mustadl'afin yang mayoritas, sehingga disini perjuangan Islam hanya menguntungkan bagi pihak elit, sementara kaum Mustadl'afin terus-menerus dalam ketertindasan.

 

© 2007 Laskar Soedirman: TAFSIR POLITIK ISLAM | Design by Template Unik



Template unik dari rohman


---[[ Skip to top ]]---