“SISTEM POLITIK ISLAM”
KARYA SAYID MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADR
Oleh : IMMawan Subhan Purna Aji
KARYA SAYID MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADR
Oleh : IMMawan Subhan Purna Aji
SEKELUMIT TENTANG SAYID MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADR
Penulis buku ini adalah ulama besar dari golongan Syi’ah, Sayid Muhammad Baqir ash-Shadr, nama lengkapnya. Keulamaannya, setidak-tidaknya dalam kalangan Syi’ah sendiri, tidak diragukan lagi. Beliau dikenal sebagai seorang ahli agama (mujtahid), ahli ilmu politik, ekonomi, hukum, filsafat, logika dan administrasi, serta politisi ulung. Atas alasan yang disebut terakhir inilah, Musa ash-Ashadr, panggilan akrabnya, dipandang sebagai seorang yang mengancam rezim Saddam di bawah bendera Partai Baath di Irak, sehingga beliau dipenjara sampai kemudian syahid pada tanggal 9 April 1980.
Jabang bayi Musa ash-Shadr, lahir pada 25 Dzulqa’idah 1353 H. Beliau, lahir dari keluarga yang mempunyai tradisi intelektual yang kuat. Tak ayal, pada usia 10 tahun, beliau sudah membahas tradisi dalam sejarah doktrin-doktrin Islam. Pada 1365 H, beliau mulai menetap di Najaf untuk belajar ilmu agama dan ilmu umum, sampai akhirnya diangkat menjadi menjadi seorang Mujtahid, dengan embel-embel “Ayatullah” di depan namanya.
Sampai akhir hayatnya, beliau menghasilkan 20 karya buku, meski kebanyakan dari karyanya itu berupa pengantar-pengantar singkat. Kendatipun demikian, karya-karya pengantarnya diakui menjadi semacam masterpiece dalam bidangnya masing-masing.
Korespondensinya dengan banyak ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam, semakin mengangkatnya namanya dalam belantika pemikiran Islam. Dalam hal kualitas produk-produk ijtihadnya, beliau patut disejajarkan dengan tokoh Syi’ah sekaliber Imam Ruhullah Ali Khomeini, tokoh sentral revolusi Islam Iran 1979. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, pemikiran-pemikirannya, langsung maupun tidak langsung, telah mewarnai wajah Republik Islam Iran.
Dalam batas-batas tertentu, Musa ash-Shadr, hampir dalam sebagian besar karyanya, kalau tidak boleh dikatakan semuanya, tak lepas dari pemahaman Islam a la Syi’ah. Meskipun begitu, karyanya laik untuk dijadikan rujukan bagi siapapun yang ingin memperdalam wawasan keIslaman, khususnya tentang politik dan pemerintahan dalam Islam.
ULASAN RINGKAS KARYANYA
Buku ini, secara garis besar membahas hal-hal yang berkait dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan apa, untuk apa, oleh siapa dan atas dasar apa suatu pemerintahan Islam dibangun. Bukan hanya itu, buku ini juga membahas kaitan-kaitan antara doktrin Islam, seperti iman, ikhtiar dan wawasan Illahi dengan persoalan umat untuk perubahan sosial.
Persoalan ijtihad dan wawasan tentang kaidah pengambilan hukum juga dibahas di sini. Tak ketinggalan, hal-ihwal yang terkait dengan nash-nash, baik kejelasan dan otoritasnya sebagai refensi pokok umat Islam, tak luput dari pembahasan pengarangnya. Last but not least, persoalan-persoalan yang sangat khas dalam khazanah keIslaman Syi’ah juga banyak di”telanjangi” oleh Musa ash-Shadr. Namun, penulis membatasi uraian Musa ash-Shadr dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan dalam Islam. ‘Alla kulli hal, Musa ash-Shadr dikenal sebagai tokoh Syi’ah yang mumpuni dalam bidangnya dan salah satu pendukung pemerintahan Islam yang gigih.
Pemerintahan Islam memiliki peran yang sangat penting, yakni mendeklarasikan Allah sebagai tujuan dan terminal akhir khalifah kemanusiaan, yang di dalamnya watak-watak Illahiah menjadi rambu-rambu perjalanan menuju tujuan-tujuan besar. Dalam pada itu, tujuan yang dipatrikan dalam hati adalah Allah semata. Kalau demikian adanya, segala tindakan dan fikiran berlabuh pada perlawanan tanpa akhir terhadap segala bentuk tirani yang sudah pasti menindas.
Dengan berdasar pada QS. Al-Kahfi ayat 109, sistem keyakinan pemerintahan Islam haruslah berdasar pada keimanan kepada Allah dan sifat-Nya. Selain itu, menjadikan budaya adalah syarat kemudian. Dalam mewujudkan tujuan pemerintahan Islam tersebut, bukan tanpa ancaman. Ancaman tersebut berupa keterikatan yang berlebihan kepada dunia dan segala isinya. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia (hubbudunya) akan melupakan aktivitas reformatif-rekonstruktif pemerintahan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam upaya untuk memobilisasi segenap potensi individu dalam rangka melakukan perubahan dalam konteks kemasyarakatan, basis sistem keyakinan haruslah bertumpu pada nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral itu, menjadikan individu mengerti dirinya sendiri. Ia merasa dunia menjadi miliknya bukan sebaliknya, dunia menjadi tuan bagi dirinya. Kalau yang terjadi demikian, dalam anggapan mereka kampung akhirat bukan sebagai persinggahan terakhir.
Memang, Allah SWT menguji manusia dengan senang kepada dunia sebagaimana difirmankan Allah dalam firman-Nya. (QS. Al Munafiquun: 9 dan QS. AL Anfal: 28). Sehingga, individu yang mampu menghadapi ujian itulah yang menjadi pemenang.
Dalam kerangka ini, segala bentuk kejahatan sesungguhnya disebabkan karena cinta yang berlebihan kepada dunia. Padahal, dunia hanyalah sementara. Lantas, bagaimana sikap individu kepada dunia? Yang tepat adalah menjadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupan akhirat yang kekal.
Atas dasar itu, pemerintahan Islam, harus memiliki prinsip-prinsip yang telah diungkapkan di atas. Bila tidak, niscaya akan terjerembab pada lembah kebiadaban. Oleh karena itu, tugas pemerintahan Islam adalah mengakhiri semua tradisi eksploitasi yang terjadi secara merata di tengah-tengah masyarakat yang tidak tercerahkan dan membebaskan orang-orang yang ditindas saudara-saudaranya dalam aspek kebudayaan. Pembebasan dipandang sebagai tindakan yang konstruktif. Dengan demikian, pembebasan itu perlu karena: pertama, energi yang dikeluarkan untuk eksploitasi akan menjadi sia-sia. Kedua, energi dan potensi konstruktif individu akan menjadi mubazir. Dalam kaitan inilah, pemerintahan Islam diperlukan, yakni sebagai agen pembebas.
Selain daripada itu, konsepsi keyakinan pemerintahan Islam juga berkaitan langsung dengan posisi penguasa. Dalam menjalankan pemerintahan, penguasa sama kedudukannya dengan rakyat jelata, itu dalam kedudukan pemerintahan. Pun dalam kehidupan sosial, setali tiga uang. Penguasa sama halnya dengan seorang budak. Ia harus diperlakukan sama dengan warga lain, meskipun ia seorang yang punya kedudukan.
Selain sama dengan keududukan dalam bidang sosial dan pemerintahan, penguasapun sama kedudukannya dalam bidang hukum. Dihadapan hukum kedudukan penguasa sama hal dengan pengemis sekalipun. Walaupun penguasa memiliki kekuasaan, tetapi kekuasaan dipandang sebagai tanggung jawab: reprensentasi dari manusia dan sebuah partisipasi orang muslim.
Demikianlah, konsepsi keyakinan pemerintahan Islam. Jika hal ini terus menerus ditegakan, baik dalam lingkungan keluarga sampai pada lingkungan internasional, maka pemerintahan Islam akan tegar selama-lamanya.
Pemerintahan Islam terkait dengan suatu sistem sosial. Sistem sosial sendiri dibangun oleh interaksi antar manusia. Oleh sebab itu, sistem sosial dibangun oleh bakat-bakat dan potensionalitas-potensionalitas kemanusiaan. Berkat ide konstruktiflah sistem dan kebudayaan baru dapat dibangun.
Dengan demikian, membangun struktur baru tidak bisa disandarkan kepada pemikiran para pemikir an sich, tetapi harus melibatkan massa. Lewat racikan yang apik antara pemikiran para cerdik-pandai dan gerakan masssa ini perubahan akan berhasil. Untuk mangatur kedua racikan itu, tawaran satu-satunya adalah mutlak adanya pemerintahan Islam.
Iman merupakan inti dalam ajaran Islam. Namun, banyak dari umat Islam sendiri telah banyak yang melakukan penyimpangan. Selain akibat dari luar, berupa penjajahan oleh bangsa asing, juga pengaruh dari umat Islam sendiri. Seolah iman telah kehilangan ruh revolusionernya.
Umat Islam diserahi juga tanggung jawab besar yakni sebagi saksi atas nama manusia, sebagai umat penengah dan sebagai umat terbaik. Selain itu, umat Islam diberi tugas untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan, melalui pemerintahan Islam-lah semua itu dapat dilakukan.
Pemerintahan Islam berbeda dengan model pemerintahan manapun di muka bumi ini. Demokrasi, sosialisme, materialisme dan ideologi-ideologi lain sejenis, terjebak kepada dirinya sendiri. Keterjebakan itu terletak pada konsistensi antara konsepsi di satu pihak dan kenyataan di pihak lain.
Pemerintahan Islam menuntut umat Islam bergerak ke arah cahaya Islam. Ia mengarahkan manusia ke arah tindakan konstruktif, yang pada gilirannya akan membentuk kebudayaan Islam. Oleh karena itu, segala bentuk sistem pemerintahan yang berasal dari barat, sehebat apapun bentuknya, tetap mengarahkan manusia kepada kegelapan, karena asalnya adalah imperialisme.
Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan contoh dalam upaya konkret menjalan misi Islam. Yakni, dengan mendirikan pemerintahan Islam. Walaupun kemudian, misi itu di kotori oleh khalifah “yang tidak sah”. Akhirnya, konsep imamah dapat menjadi jawaban dari itu semua, yakni mengarahkannya kembali ke dalam jalan yang benar.
Imamah, dengan demikian, merupakan perpanjangan tangan dari kenabian. Dan bangsa Iran telah membuktikan bahwa kaum despotik akan dikalahkan oleh kaum mustadl’afin yang saleh.
Adapun mengenai prinsip-prinsip mental dan landasan filosofis Republik Islam telah diatur dalam nash-nash suci. Berikut ini adalah landasan-landasan Republik Islam :
a. Kekuasaan mutlak milik Allah, sehingga tidak ada kemutlakan lain selain-Nya. Semua itu, diwujudkan dengan kredo “laa ila haillallah” , dengan itulah pemerintahan Islam dibangun.
b. Perintah-perintah Islam dijadikan landasan bagi perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah konstitusi.
c. Kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi tanggung jawab para imam dalam koridor hukum fundamental Islam.
Lantas bagaimana peraturan mengenai kedua kekuasaan itu ?.
a. masyarakat akan memilih kepala negara yang mencalonkan diri, setelah sebelumnya mendapat restud dari para ahli agama (waliatul faqih).
b. Selanjutnya, masyarakat memilih para wakil-wakil. Bagi mereka yang terpilih akan menjadi dewan pendiri. Dewan ini memiliki fungsi: 1) secara resmi menyetujui pengangkatan dewan otoritas eksekutif yang dipilih oleh kepala negara; 2) memilih pendapat mujtahid ketika diperlukan untuk kepentingan umum; 3) mengundang-undangkan hukum-hukum yang sesuai dan cocok; 4) mengawasi pelaksanaan hukum yang dikeluarkan pemerintah, dengan menggunakan hak bertanya dan meminta penjelasan.
c. Waliatul faqih secara resmi mewakili Islam. Ia adalah pemegang otoritas keagamaan, yang terdiri dari para imam mujtahid sebagai pengganti dari Imam Al Mahdi, yang menurut kepercayaan Syi’ah sedang gaib. Berikut ini adalah hak hukumnya: 1) ia adalah pilar utama pemerintahan dan pemimpin tertinggi angkatan bersenjata; 2) Waliatul Faqih merestui pengangkatan calon kepala negara dan setelah seorang calon terpilih ia menyetujuinya; 3) merekalah yang menyetujui suatu konstitusi sesuai atau tidak dengan hukum-hukum Islam; 4) merestui pemberlakukan suatu RUU; 5) jika terjadi perselisihan dalam hal semua itu di atas, merekalah yang menunjuk hakim; 6) mendirikan pengandilan-pengadilan diseluruh negeri.
Waliatul Faqih tidak sendiri, ia ditemani oleh sebuah dewan yang terdiri dari seribu orang para pemikir dan penulis serta mujtahid agama. Fungsinya sebagai lembaga konsultasi waliatul faqih, meski dibentuk oleh waliatul faqih. Dalam mana terjadi perselisihan antar waliatul faqih, masyarakatlah yang memilih pendapat pihak-pihak yang beselisih itu, melaui suatu referendum.
KOMENTAR DAN CATATAN KRITIS
Seluruh tema yang disodorkan oleh Musa ash-Shadr, seperti yang telah dipaparkan diatas meski secara sangat singkat, setidaknya telah memberikan sedikit tentang panorama pemikirannya yang luas dan tentu saja, ke-Syi’ah-Syi’ah-an, sehingga boleh dikatakan karya Musa ash-Shadr ini mewakili pemikiran politik Syi’ah. Selain Musa ash-Shadr, bisa disebut pula Imam Khomeini dan Ali Syariati, untuk mewakili teoritisi politik Syi’ah, walaupun masih banyak tokoh lain yang patut disebut.
Pemikiran politik syiah ini, muncul dari dialektika sejarah umat Syi’ah sendiri. Syi’ah seringkali dipertentangkan dengan Sunni, walaupun sebetulnya tidak bisa dikatakan demikian. Kenyataanya masih banyak aliran Islam lain yang berada di antara dua aliran tersebut, seperti Khawarij. Menelurusi sejarah kemunculan dan perkembangan Syi’ah penting sekali untuk menganalisis pemikiran politiknya. Oleh karena itu, di bawah ini akan dipaparkan serba sedikit tentang kemunculan Syi’ah.
Kemunculan Syi’ah
Sepeninggal Umar Ibn Al Khattab, Ustman diangkat menjadi khalifah melalui suatu dewan yang ditunjuk Umar. Dewan itu terdiri dari para tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setelah melewati dua kali musyawarah, akhirnya dewan itu memutuskan untuk mengangkat Ustman bin Affan, sahabat sekaligus menantu Rasulullah, menjadi khalifah.
Pada perkembangan yang selanjutnya, pemerintahan Ustman banyak terjadi kebobrokan-kebobrokan, terutama terkait pengangkatan beberapa Gubernur untuk daerah yang ditaklukan yang berasal dari keluarga Ustman sendiri. Kebijakan khalifah ini menimbulkan reaksi dari para sahabat. Hingga akhirnya Sang Khalifah terbunuh oleh seorang yang kecewa padanya. Kejadian pembunuhan Ustman menandai carut-marutnya politik Islam kemudian.
Setelah kematian Ustman, Ali diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Namun demikian, kubu yang pada masa Ustman memperoleh hak-hak istimewa, merasa dirugikan. Muawiyah adalah salah satunya. Ia kemudian berkonflik dengn Ali dan para pendukungnya. Sampai kemudian arbritase terjadi. Muawiyah mengajukan mau melakukan arbritase asalkan Ali mau untuk menyerahkan para pembunuh Ustman. Ali mengiyakan ajakan arbritase Muawiyah lengkap dengan syarat-syaratnya. Namun, proses politik masih terus berjalan sampai kemudian terjadi dalam sejarah Islam apa yang dikenal dengan Al Fitnah Al Qubro. Husein, putera Ali bersama pasukannya dibunuh, setelah sebelumnya terjadi perang siffin (37 H/648 M). Akhirnya, kekuasaan jatuh pada Muawiyah.
Satu golongan muncul dari proses politik yang tidak sehat antara dua kubu tersebut. Kelompok itu dikenal dengan nama Khawarij. Sebetulnya, kelompok sempalan ini pada mulanya adalah pendukung Ali, namun ketika Ali mau untuk melakukan arbritase dengan Muawiyah mereka kecewa, sehingga mereka keluar dari kelompok pendukung Ali. Pembunuh Ali-pun berasal dari kelompok ini.
Diantara dua kutub defeatisme dan featisme ini muncul sejumlah posisi. Yang paling terkemuka adalah para pendukung Ali: Syi’ah atau Partai Ali. Mereka mendukung Ali bukan karena Ali adalah menantu Rasulullah Saw., tetapi karena keberpihakannya. Sikap politik ini jelas tetap mendukung Ali. Dengan begitu tetap menjadi oposan utama penguasa saat ini, siapa lagi kalau bukan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Tradisi oposan ini telah bertahun-tahun dianut Syi’ah. Sampai akhirnya menjadi sekte tersendiri. Pada akhirnya juga menciptakan arus utama sendiri dalam bidang hukum dan teologi, berbeda dari arus utama rezim. Dalam bidang fiqih mereka lebih menekankan pada fiqih rakyat, sedangkan dari kelompok Sunni lebih menekankan fiqh negara.
Meskipun begitu, sikap oposisi dan nirkekuasaan tidak selama menghinggapi kelompok pendukung Ali ini. Satu masa pada abad IV Hijriyah, syiah memperoleh kekuasaan. Meski demikian, praktik politik negara Syi’ah ini tidak ada bedanya dengan praktik negara-negara dari kelompok sunni. Tetap saja korup dan menarik pajak yang tinggi kepada rakyat..
Kritik Nalar Politik Syi’ah
Dalam tradisi ortodoksi Syi’ah dikenal konsep imamah, yakni konsep kekuasaan para imam. Para imam ini dianggap sebagai pengganti dan sekaligus penerus misi kenabian Muhammad SAW. Konsep ini sering disebut imamah. Imam secara bahasa berarti kepemimpinan. Tidak hanya itu, dalam tradisi syiah bukan nabi saja yang maksum (tidak mempunyai dosa), seperti dalam sunni, tetapi para imam pun mempunyai kemaksuman seperti halnya kemaksuman Rasulullah. Oleh karena itu, setiap pemimpin harus diangkat dari para imam ini. Sebab, merka yang dianggap paling baik untuk menjadi pemimpin, walaupun sekte Syi’ah Zaidiyah tetap membolehkan pengangkatan pemimpin dari non-imam, artinya pemimpin boleh bukan dari kalangan umat yang terbaik.
Dengan kerangka nalar semacam ini, tradisi politik Syi’ah dibangun. Bukan saja dalam ranah politik, ranah kehidupann yang lainpun tak lepas dari kosep imamah. Dengan teoritisasi politik semacam ini, bisa ditebak, teori ini menjadi sangat berwatak idealistik dan pesimistik. Meski diakui sangat revolusioner, sebab menetapkan patokan-patokan tertinggi dan mendorong umat Islam untuk mengarahkan realitas yang sempurna kepada patokan-patokan tersebut. Selanjutnya, DR. Abdelwahab Al-Affendi berkomentar demikian :
“ ... Hanya saja, ia juga mengandung kepercayaan bahwa patokan-patokan ini tidak bisa dicapai dan sia-sia saja untuk mengejarnya.”
Selain hal di atas, pemikiran politik Syi’ah sangat berwatak oposan. Hal ini tidak lepas dari pengalaman sejarah yang mereka miliki. Pada bagian tertentu, nalar ini sangatlah revolusioner. Sebab, rakyatlah yang paling menjadi konsentrasi. Di lain pihak, penguasa dalam hal ini negara, selalu menjadi musuh. Secara amat kasar, stigma semacam ini mengingatkan pada pemikiran Karl Marx, yang menganggap negara selalu menjadi musuh, untuk itu harus di lawan. Hampir bisa diterka, sikap semacam ini selalu menempatkan Syi’ah berada di pinggir kekuasaan. Dengan sikap semacam ini, Syi’ah harus merebut kekuasaan dari para penguasa. Dan cara yang paling efektif adalah dengan jalan revolusi.
Dengan nalar ini, keterjebakan pemikiran politik Syi’ah adalah cara pandang mereka kepada negara dan bagimana cara merubahnya. Yang disebut terakhir ini mengandaikan perebutkan kekuasaan haruslah bermula dari atas, artinya dari pusat kekuasaan. Pemikiran ini selalu tejebak pada logika ideologi dilawan ideologi. Cara semacam ini bukan tanpa kelebihan, jelas, kelebihannya adalah tempo yang ditempuh relatif singkat. Tetapi utnuk proses pencerdasan massa rakyat di bawah menjadi pilihan yang tidak tepat.
Dalam hal ini, rakyat selalu dijadikan alat saja. Ia hanya diradikalkan, tetapi tidak dicerdaskan. Kalau demikian adanya, pendidikan politik rakyat mesti ditempatkan dimana? Sehingga, kesadaran politik rakyat menjadi sangat mandul. Oleh karena itu, memecah kebuntuan ini adalah dengan meradikalkan sekaligus mencerdaskan mereka.
Penulis buku ini adalah ulama besar dari golongan Syi’ah, Sayid Muhammad Baqir ash-Shadr, nama lengkapnya. Keulamaannya, setidak-tidaknya dalam kalangan Syi’ah sendiri, tidak diragukan lagi. Beliau dikenal sebagai seorang ahli agama (mujtahid), ahli ilmu politik, ekonomi, hukum, filsafat, logika dan administrasi, serta politisi ulung. Atas alasan yang disebut terakhir inilah, Musa ash-Ashadr, panggilan akrabnya, dipandang sebagai seorang yang mengancam rezim Saddam di bawah bendera Partai Baath di Irak, sehingga beliau dipenjara sampai kemudian syahid pada tanggal 9 April 1980.
Jabang bayi Musa ash-Shadr, lahir pada 25 Dzulqa’idah 1353 H. Beliau, lahir dari keluarga yang mempunyai tradisi intelektual yang kuat. Tak ayal, pada usia 10 tahun, beliau sudah membahas tradisi dalam sejarah doktrin-doktrin Islam. Pada 1365 H, beliau mulai menetap di Najaf untuk belajar ilmu agama dan ilmu umum, sampai akhirnya diangkat menjadi menjadi seorang Mujtahid, dengan embel-embel “Ayatullah” di depan namanya.
Sampai akhir hayatnya, beliau menghasilkan 20 karya buku, meski kebanyakan dari karyanya itu berupa pengantar-pengantar singkat. Kendatipun demikian, karya-karya pengantarnya diakui menjadi semacam masterpiece dalam bidangnya masing-masing.
Korespondensinya dengan banyak ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam, semakin mengangkatnya namanya dalam belantika pemikiran Islam. Dalam hal kualitas produk-produk ijtihadnya, beliau patut disejajarkan dengan tokoh Syi’ah sekaliber Imam Ruhullah Ali Khomeini, tokoh sentral revolusi Islam Iran 1979. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, pemikiran-pemikirannya, langsung maupun tidak langsung, telah mewarnai wajah Republik Islam Iran.
Dalam batas-batas tertentu, Musa ash-Shadr, hampir dalam sebagian besar karyanya, kalau tidak boleh dikatakan semuanya, tak lepas dari pemahaman Islam a la Syi’ah. Meskipun begitu, karyanya laik untuk dijadikan rujukan bagi siapapun yang ingin memperdalam wawasan keIslaman, khususnya tentang politik dan pemerintahan dalam Islam.
ULASAN RINGKAS KARYANYA
Buku ini, secara garis besar membahas hal-hal yang berkait dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan apa, untuk apa, oleh siapa dan atas dasar apa suatu pemerintahan Islam dibangun. Bukan hanya itu, buku ini juga membahas kaitan-kaitan antara doktrin Islam, seperti iman, ikhtiar dan wawasan Illahi dengan persoalan umat untuk perubahan sosial.
Persoalan ijtihad dan wawasan tentang kaidah pengambilan hukum juga dibahas di sini. Tak ketinggalan, hal-ihwal yang terkait dengan nash-nash, baik kejelasan dan otoritasnya sebagai refensi pokok umat Islam, tak luput dari pembahasan pengarangnya. Last but not least, persoalan-persoalan yang sangat khas dalam khazanah keIslaman Syi’ah juga banyak di”telanjangi” oleh Musa ash-Shadr. Namun, penulis membatasi uraian Musa ash-Shadr dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan dalam Islam. ‘Alla kulli hal, Musa ash-Shadr dikenal sebagai tokoh Syi’ah yang mumpuni dalam bidangnya dan salah satu pendukung pemerintahan Islam yang gigih.
- Sekitar Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam memiliki peran yang sangat penting, yakni mendeklarasikan Allah sebagai tujuan dan terminal akhir khalifah kemanusiaan, yang di dalamnya watak-watak Illahiah menjadi rambu-rambu perjalanan menuju tujuan-tujuan besar. Dalam pada itu, tujuan yang dipatrikan dalam hati adalah Allah semata. Kalau demikian adanya, segala tindakan dan fikiran berlabuh pada perlawanan tanpa akhir terhadap segala bentuk tirani yang sudah pasti menindas.
Dengan berdasar pada QS. Al-Kahfi ayat 109, sistem keyakinan pemerintahan Islam haruslah berdasar pada keimanan kepada Allah dan sifat-Nya. Selain itu, menjadikan budaya adalah syarat kemudian. Dalam mewujudkan tujuan pemerintahan Islam tersebut, bukan tanpa ancaman. Ancaman tersebut berupa keterikatan yang berlebihan kepada dunia dan segala isinya. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia (hubbudunya) akan melupakan aktivitas reformatif-rekonstruktif pemerintahan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam upaya untuk memobilisasi segenap potensi individu dalam rangka melakukan perubahan dalam konteks kemasyarakatan, basis sistem keyakinan haruslah bertumpu pada nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral itu, menjadikan individu mengerti dirinya sendiri. Ia merasa dunia menjadi miliknya bukan sebaliknya, dunia menjadi tuan bagi dirinya. Kalau yang terjadi demikian, dalam anggapan mereka kampung akhirat bukan sebagai persinggahan terakhir.
Memang, Allah SWT menguji manusia dengan senang kepada dunia sebagaimana difirmankan Allah dalam firman-Nya. (QS. Al Munafiquun: 9 dan QS. AL Anfal: 28). Sehingga, individu yang mampu menghadapi ujian itulah yang menjadi pemenang.
Dalam kerangka ini, segala bentuk kejahatan sesungguhnya disebabkan karena cinta yang berlebihan kepada dunia. Padahal, dunia hanyalah sementara. Lantas, bagaimana sikap individu kepada dunia? Yang tepat adalah menjadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupan akhirat yang kekal.
Atas dasar itu, pemerintahan Islam, harus memiliki prinsip-prinsip yang telah diungkapkan di atas. Bila tidak, niscaya akan terjerembab pada lembah kebiadaban. Oleh karena itu, tugas pemerintahan Islam adalah mengakhiri semua tradisi eksploitasi yang terjadi secara merata di tengah-tengah masyarakat yang tidak tercerahkan dan membebaskan orang-orang yang ditindas saudara-saudaranya dalam aspek kebudayaan. Pembebasan dipandang sebagai tindakan yang konstruktif. Dengan demikian, pembebasan itu perlu karena: pertama, energi yang dikeluarkan untuk eksploitasi akan menjadi sia-sia. Kedua, energi dan potensi konstruktif individu akan menjadi mubazir. Dalam kaitan inilah, pemerintahan Islam diperlukan, yakni sebagai agen pembebas.
Selain daripada itu, konsepsi keyakinan pemerintahan Islam juga berkaitan langsung dengan posisi penguasa. Dalam menjalankan pemerintahan, penguasa sama kedudukannya dengan rakyat jelata, itu dalam kedudukan pemerintahan. Pun dalam kehidupan sosial, setali tiga uang. Penguasa sama halnya dengan seorang budak. Ia harus diperlakukan sama dengan warga lain, meskipun ia seorang yang punya kedudukan.
Selain sama dengan keududukan dalam bidang sosial dan pemerintahan, penguasapun sama kedudukannya dalam bidang hukum. Dihadapan hukum kedudukan penguasa sama hal dengan pengemis sekalipun. Walaupun penguasa memiliki kekuasaan, tetapi kekuasaan dipandang sebagai tanggung jawab: reprensentasi dari manusia dan sebuah partisipasi orang muslim.
Demikianlah, konsepsi keyakinan pemerintahan Islam. Jika hal ini terus menerus ditegakan, baik dalam lingkungan keluarga sampai pada lingkungan internasional, maka pemerintahan Islam akan tegar selama-lamanya.
Pemerintahan Islam terkait dengan suatu sistem sosial. Sistem sosial sendiri dibangun oleh interaksi antar manusia. Oleh sebab itu, sistem sosial dibangun oleh bakat-bakat dan potensionalitas-potensionalitas kemanusiaan. Berkat ide konstruktiflah sistem dan kebudayaan baru dapat dibangun.
Dengan demikian, membangun struktur baru tidak bisa disandarkan kepada pemikiran para pemikir an sich, tetapi harus melibatkan massa. Lewat racikan yang apik antara pemikiran para cerdik-pandai dan gerakan masssa ini perubahan akan berhasil. Untuk mangatur kedua racikan itu, tawaran satu-satunya adalah mutlak adanya pemerintahan Islam.
Iman merupakan inti dalam ajaran Islam. Namun, banyak dari umat Islam sendiri telah banyak yang melakukan penyimpangan. Selain akibat dari luar, berupa penjajahan oleh bangsa asing, juga pengaruh dari umat Islam sendiri. Seolah iman telah kehilangan ruh revolusionernya.
Umat Islam diserahi juga tanggung jawab besar yakni sebagi saksi atas nama manusia, sebagai umat penengah dan sebagai umat terbaik. Selain itu, umat Islam diberi tugas untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan, melalui pemerintahan Islam-lah semua itu dapat dilakukan.
Pemerintahan Islam berbeda dengan model pemerintahan manapun di muka bumi ini. Demokrasi, sosialisme, materialisme dan ideologi-ideologi lain sejenis, terjebak kepada dirinya sendiri. Keterjebakan itu terletak pada konsistensi antara konsepsi di satu pihak dan kenyataan di pihak lain.
Pemerintahan Islam menuntut umat Islam bergerak ke arah cahaya Islam. Ia mengarahkan manusia ke arah tindakan konstruktif, yang pada gilirannya akan membentuk kebudayaan Islam. Oleh karena itu, segala bentuk sistem pemerintahan yang berasal dari barat, sehebat apapun bentuknya, tetap mengarahkan manusia kepada kegelapan, karena asalnya adalah imperialisme.
- Sekitar Republik Islam
Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan contoh dalam upaya konkret menjalan misi Islam. Yakni, dengan mendirikan pemerintahan Islam. Walaupun kemudian, misi itu di kotori oleh khalifah “yang tidak sah”. Akhirnya, konsep imamah dapat menjadi jawaban dari itu semua, yakni mengarahkannya kembali ke dalam jalan yang benar.
Imamah, dengan demikian, merupakan perpanjangan tangan dari kenabian. Dan bangsa Iran telah membuktikan bahwa kaum despotik akan dikalahkan oleh kaum mustadl’afin yang saleh.
Adapun mengenai prinsip-prinsip mental dan landasan filosofis Republik Islam telah diatur dalam nash-nash suci. Berikut ini adalah landasan-landasan Republik Islam :
a. Kekuasaan mutlak milik Allah, sehingga tidak ada kemutlakan lain selain-Nya. Semua itu, diwujudkan dengan kredo “laa ila haillallah” , dengan itulah pemerintahan Islam dibangun.
b. Perintah-perintah Islam dijadikan landasan bagi perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah konstitusi.
c. Kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi tanggung jawab para imam dalam koridor hukum fundamental Islam.
Lantas bagaimana peraturan mengenai kedua kekuasaan itu ?.
a. masyarakat akan memilih kepala negara yang mencalonkan diri, setelah sebelumnya mendapat restud dari para ahli agama (waliatul faqih).
b. Selanjutnya, masyarakat memilih para wakil-wakil. Bagi mereka yang terpilih akan menjadi dewan pendiri. Dewan ini memiliki fungsi: 1) secara resmi menyetujui pengangkatan dewan otoritas eksekutif yang dipilih oleh kepala negara; 2) memilih pendapat mujtahid ketika diperlukan untuk kepentingan umum; 3) mengundang-undangkan hukum-hukum yang sesuai dan cocok; 4) mengawasi pelaksanaan hukum yang dikeluarkan pemerintah, dengan menggunakan hak bertanya dan meminta penjelasan.
c. Waliatul faqih secara resmi mewakili Islam. Ia adalah pemegang otoritas keagamaan, yang terdiri dari para imam mujtahid sebagai pengganti dari Imam Al Mahdi, yang menurut kepercayaan Syi’ah sedang gaib. Berikut ini adalah hak hukumnya: 1) ia adalah pilar utama pemerintahan dan pemimpin tertinggi angkatan bersenjata; 2) Waliatul Faqih merestui pengangkatan calon kepala negara dan setelah seorang calon terpilih ia menyetujuinya; 3) merekalah yang menyetujui suatu konstitusi sesuai atau tidak dengan hukum-hukum Islam; 4) merestui pemberlakukan suatu RUU; 5) jika terjadi perselisihan dalam hal semua itu di atas, merekalah yang menunjuk hakim; 6) mendirikan pengandilan-pengadilan diseluruh negeri.
Waliatul Faqih tidak sendiri, ia ditemani oleh sebuah dewan yang terdiri dari seribu orang para pemikir dan penulis serta mujtahid agama. Fungsinya sebagai lembaga konsultasi waliatul faqih, meski dibentuk oleh waliatul faqih. Dalam mana terjadi perselisihan antar waliatul faqih, masyarakatlah yang memilih pendapat pihak-pihak yang beselisih itu, melaui suatu referendum.
KOMENTAR DAN CATATAN KRITIS
Seluruh tema yang disodorkan oleh Musa ash-Shadr, seperti yang telah dipaparkan diatas meski secara sangat singkat, setidaknya telah memberikan sedikit tentang panorama pemikirannya yang luas dan tentu saja, ke-Syi’ah-Syi’ah-an, sehingga boleh dikatakan karya Musa ash-Shadr ini mewakili pemikiran politik Syi’ah. Selain Musa ash-Shadr, bisa disebut pula Imam Khomeini dan Ali Syariati, untuk mewakili teoritisi politik Syi’ah, walaupun masih banyak tokoh lain yang patut disebut.
Pemikiran politik syiah ini, muncul dari dialektika sejarah umat Syi’ah sendiri. Syi’ah seringkali dipertentangkan dengan Sunni, walaupun sebetulnya tidak bisa dikatakan demikian. Kenyataanya masih banyak aliran Islam lain yang berada di antara dua aliran tersebut, seperti Khawarij. Menelurusi sejarah kemunculan dan perkembangan Syi’ah penting sekali untuk menganalisis pemikiran politiknya. Oleh karena itu, di bawah ini akan dipaparkan serba sedikit tentang kemunculan Syi’ah.
Kemunculan Syi’ah
Sepeninggal Umar Ibn Al Khattab, Ustman diangkat menjadi khalifah melalui suatu dewan yang ditunjuk Umar. Dewan itu terdiri dari para tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setelah melewati dua kali musyawarah, akhirnya dewan itu memutuskan untuk mengangkat Ustman bin Affan, sahabat sekaligus menantu Rasulullah, menjadi khalifah.
Pada perkembangan yang selanjutnya, pemerintahan Ustman banyak terjadi kebobrokan-kebobrokan, terutama terkait pengangkatan beberapa Gubernur untuk daerah yang ditaklukan yang berasal dari keluarga Ustman sendiri. Kebijakan khalifah ini menimbulkan reaksi dari para sahabat. Hingga akhirnya Sang Khalifah terbunuh oleh seorang yang kecewa padanya. Kejadian pembunuhan Ustman menandai carut-marutnya politik Islam kemudian.
Setelah kematian Ustman, Ali diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Namun demikian, kubu yang pada masa Ustman memperoleh hak-hak istimewa, merasa dirugikan. Muawiyah adalah salah satunya. Ia kemudian berkonflik dengn Ali dan para pendukungnya. Sampai kemudian arbritase terjadi. Muawiyah mengajukan mau melakukan arbritase asalkan Ali mau untuk menyerahkan para pembunuh Ustman. Ali mengiyakan ajakan arbritase Muawiyah lengkap dengan syarat-syaratnya. Namun, proses politik masih terus berjalan sampai kemudian terjadi dalam sejarah Islam apa yang dikenal dengan Al Fitnah Al Qubro. Husein, putera Ali bersama pasukannya dibunuh, setelah sebelumnya terjadi perang siffin (37 H/648 M). Akhirnya, kekuasaan jatuh pada Muawiyah.
Satu golongan muncul dari proses politik yang tidak sehat antara dua kubu tersebut. Kelompok itu dikenal dengan nama Khawarij. Sebetulnya, kelompok sempalan ini pada mulanya adalah pendukung Ali, namun ketika Ali mau untuk melakukan arbritase dengan Muawiyah mereka kecewa, sehingga mereka keluar dari kelompok pendukung Ali. Pembunuh Ali-pun berasal dari kelompok ini.
Diantara dua kutub defeatisme dan featisme ini muncul sejumlah posisi. Yang paling terkemuka adalah para pendukung Ali: Syi’ah atau Partai Ali. Mereka mendukung Ali bukan karena Ali adalah menantu Rasulullah Saw., tetapi karena keberpihakannya. Sikap politik ini jelas tetap mendukung Ali. Dengan begitu tetap menjadi oposan utama penguasa saat ini, siapa lagi kalau bukan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Tradisi oposan ini telah bertahun-tahun dianut Syi’ah. Sampai akhirnya menjadi sekte tersendiri. Pada akhirnya juga menciptakan arus utama sendiri dalam bidang hukum dan teologi, berbeda dari arus utama rezim. Dalam bidang fiqih mereka lebih menekankan pada fiqih rakyat, sedangkan dari kelompok Sunni lebih menekankan fiqh negara.
Meskipun begitu, sikap oposisi dan nirkekuasaan tidak selama menghinggapi kelompok pendukung Ali ini. Satu masa pada abad IV Hijriyah, syiah memperoleh kekuasaan. Meski demikian, praktik politik negara Syi’ah ini tidak ada bedanya dengan praktik negara-negara dari kelompok sunni. Tetap saja korup dan menarik pajak yang tinggi kepada rakyat..
Kritik Nalar Politik Syi’ah
Dalam tradisi ortodoksi Syi’ah dikenal konsep imamah, yakni konsep kekuasaan para imam. Para imam ini dianggap sebagai pengganti dan sekaligus penerus misi kenabian Muhammad SAW. Konsep ini sering disebut imamah. Imam secara bahasa berarti kepemimpinan. Tidak hanya itu, dalam tradisi syiah bukan nabi saja yang maksum (tidak mempunyai dosa), seperti dalam sunni, tetapi para imam pun mempunyai kemaksuman seperti halnya kemaksuman Rasulullah. Oleh karena itu, setiap pemimpin harus diangkat dari para imam ini. Sebab, merka yang dianggap paling baik untuk menjadi pemimpin, walaupun sekte Syi’ah Zaidiyah tetap membolehkan pengangkatan pemimpin dari non-imam, artinya pemimpin boleh bukan dari kalangan umat yang terbaik.
Dengan kerangka nalar semacam ini, tradisi politik Syi’ah dibangun. Bukan saja dalam ranah politik, ranah kehidupann yang lainpun tak lepas dari kosep imamah. Dengan teoritisasi politik semacam ini, bisa ditebak, teori ini menjadi sangat berwatak idealistik dan pesimistik. Meski diakui sangat revolusioner, sebab menetapkan patokan-patokan tertinggi dan mendorong umat Islam untuk mengarahkan realitas yang sempurna kepada patokan-patokan tersebut. Selanjutnya, DR. Abdelwahab Al-Affendi berkomentar demikian :
“ ... Hanya saja, ia juga mengandung kepercayaan bahwa patokan-patokan ini tidak bisa dicapai dan sia-sia saja untuk mengejarnya.”
Selain hal di atas, pemikiran politik Syi’ah sangat berwatak oposan. Hal ini tidak lepas dari pengalaman sejarah yang mereka miliki. Pada bagian tertentu, nalar ini sangatlah revolusioner. Sebab, rakyatlah yang paling menjadi konsentrasi. Di lain pihak, penguasa dalam hal ini negara, selalu menjadi musuh. Secara amat kasar, stigma semacam ini mengingatkan pada pemikiran Karl Marx, yang menganggap negara selalu menjadi musuh, untuk itu harus di lawan. Hampir bisa diterka, sikap semacam ini selalu menempatkan Syi’ah berada di pinggir kekuasaan. Dengan sikap semacam ini, Syi’ah harus merebut kekuasaan dari para penguasa. Dan cara yang paling efektif adalah dengan jalan revolusi.
Dengan nalar ini, keterjebakan pemikiran politik Syi’ah adalah cara pandang mereka kepada negara dan bagimana cara merubahnya. Yang disebut terakhir ini mengandaikan perebutkan kekuasaan haruslah bermula dari atas, artinya dari pusat kekuasaan. Pemikiran ini selalu tejebak pada logika ideologi dilawan ideologi. Cara semacam ini bukan tanpa kelebihan, jelas, kelebihannya adalah tempo yang ditempuh relatif singkat. Tetapi utnuk proses pencerdasan massa rakyat di bawah menjadi pilihan yang tidak tepat.
Dalam hal ini, rakyat selalu dijadikan alat saja. Ia hanya diradikalkan, tetapi tidak dicerdaskan. Kalau demikian adanya, pendidikan politik rakyat mesti ditempatkan dimana? Sehingga, kesadaran politik rakyat menjadi sangat mandul. Oleh karena itu, memecah kebuntuan ini adalah dengan meradikalkan sekaligus mencerdaskan mereka.
Comment Form under post in blogger/blogspot